Kita, mungkin sudah tak ragu lagi bahwa membaca itu penting. Anda barangkali juga sudah meyakini bahwa membaca sangat bermanfaat bagi diri kita. Setidaknya kita dibuat tahu tentang hal-hal baru dari bacaan. Tapi mengapa, minat baca kita pada umumnya masih rendah. Bahkan penelitian di bidang literasi yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain, Conn., Amerika Serikat, menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Sedangkan lima negara yang menempati posisi teratas versi penelitian itu adalah Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Memang, membaca hingga saat ini masih menjadi sebuah aktivitas yang berat dilakukan. Beda halnya dengan aktivitas menonton dan menguping. Padahal antara membaca, menonton dan menguping pada dasarnya sama. Yakni sama-sama memasukkan suatu informasi, berita dan pengetahuan dari luar diri kita ke dalam diri kita. Saya menyebut proses ini sebagai skema out-in. Skema ini sangat bagus digunakan sebagai model pemberdayaan diri suatu individu.
Jika diberikan pilihan, antara membaca, menonton dan mendengarkan, barangkali menonton menempati posisi tertinggi aktivitas yang dipilih oleh kebanyakan orang. Apalagi tayangan sinetron di televisi belalakangan ini terus berlomba merebut pangsa pasar mereka. Alhasil, semua pemirsa mulai anak-anak, remaja hingga kalangan manula seolah tak mau ketinggalan dengan jalan cerita yang sedang in di televisi. Perilaku ini pun direspon oleh produser TV, dengan membuat skenario yang seolah tak ada habisnya. Orang tua dan anak sama saja, mereka berlomba disiplin hadir di depan televisi, meskipun harus mengorbankan kegiatan lain yang bisa jadi lebih penting.
Kalau para orang tua sudah lebih dulu menjadi pemirsa setia, maka anak-anaknya pun pasti akan mengikuti dengan setia. Seolah orang tua ingin mengatakan kepada sang anak, ayo nonton tv bareng-bareng!. Inilah fenomena yang tengah terjadi di masyarakat kita. Sehingga aktivitas membaca semakin tidak mendapatkan tempat yang layak di kalangan masyarakat. Mereka tidak lagi memiliki waktu luang, karena semua waktu di luar kesibukan utama sudah terjadwal secara apik untuk menyimak televisi. Inilah tembok penjara yang sejatinya membelenggu budaya literasi di Indonesia. Ya, menonton adalah dinding pertama yang memasung budaya itu. Selebihnya masih terdapat dinding-dinding lain yang memenjarakan diri kita dalam ketidakberdayaan mengeja kata dan menggali makna.
Pasti tidak ada yang salah dengan menonton TV. Namun hemat saya yang menjadi tidak bagus adalah kalau aktivitas itu terlanjur menghegemoni, bahkan membentuk karakter anak-anak kita. Sudah tidak diragukan lagi pengaruh negatif tayangan televisi sangat cepat menghinggapi pikiran anak-anak kita, menjalar dan membentuk fenomena baru dalam kehidupan masyarakat mereka. Sehingga anak dengan mudah meniru adegan yang ditayangkan TV tanpa sensor sedikitpun. Sebenarnya tidak hanya anak, kalangan dewasa pun telah mengalami hal yang sama. Dalam kehidupan sehari-hari, dalam banyak hal mereka secara tidak sadar telah berkiblat pada ajaran TV. Mulai dari gaya bahasa, fashion, perilaku bahkan sampai pada tingkat yang paling parah yaitu mempraktikkan adegan-adegan negatif yang menjurus pada pelanggaran hukum. Ya seperti kasus kekerasan, penipuan dan modus-modus lain yang diinspirasi tayangan TV.
Pertanyaannya kemudian adalah sampai kapankah fenomena ini terus berlanjut? Dunia TV memang rasanya mustahil ditinggalkan dalam kehidupan modern ini. Namun setidaknya, kita harus mencoba mengevaluasi diri kita sendiri, mana tayangan yang bermanfaat dan mana yang mudharat. Kemudian pandai-pandai memilih aktivitas mana yang lebih berguna dan mana yang sia-sia. Coba sekarang Anda bandingkan, mana yang lebih bermanfaat bagi diri Anda, diantara ketiga aktivitas ini: nonton sinetron, membaca buku dan mendengarkan radio. Nah, kali ini sama sekali saya bukan bermaksud menjustifikasi, namun saya akan menyampaikan pengalaman saya dan beberapa orang bahwa ternyata aktivitas membaca jauh lebih memberikan manfaat ketimbang menonton dan mendengar (baca juga: Mengikat Makna, sebuah Terapi untuk Memberdayakan Diri).
Namun, sekali lagi ternyata banyak orang yang tak berdaya hanya untuk membaca saja. Rasanya hendak melakukan pekerjaan yang sangat berat dan melelahkan. Tidak hanya Anda, banyak orang termasuk saya sendiri juga tak jarang mengalami perasaan ini. Inilah tembok penjara yang harus kita runtuhkan, supaya kita tidak terpasung di dalamnya.
Pertama, Saya ingin mulai dari tembok kemalasan. Malas sesungguhnya sifat bawaan yang tidak hanya terjadi dalam hal membaca. Sifat malas bisa hinggap di mana saja dan kapan saja. Inilah pertama kali tembok yang harus diruntuhkan, karena malas itu membuat diri kita mati dalam hidup. Kita masih bernafas, merasakan enaknya makan, namun tak bergerak dan melakukan sesuatu. Kita tidak sadar bahwa sedetik pun waktu yang diberika Tuhan kepada kita, kelak harus dipertanggunjawabkan di hadapanNYA.
Hal ini harus diyakini dan bisa kita jadikan senjata untuk mengikir sifat malas yang membuat diri kita tak bergerak, seperti patung hidup. Sifat malas memang harus dilawan, jangan dituruti. Karena kalau dituruti tembok kemalasan ini akan semakin tebal, semakin kokoh dan semakin kuat membelenggu diri Anda, dan pada saat itu pula saya yakin Anda semakin tak berdaya. Perlu segera diatasi, salah satunya dengan mengikat keyakinan yang kuat bahwa sesungguhnya waktu yang kita punya ini hanyalah dipinjamkan oleh Tuhan. Tidak lama lagi waktu itu akan diminta, kita tidak kuasa menolaknya. Kalau kita masih bermalas-malasan sementara tiba-tiba waktu kita diminta, bukankah sangat rugi.
Kedua, Kebanyakan orang juga mengalami kebingungan ketika hendak membaca, sederet pertanyaan seolah sedang menghakimi dirinya, untuk apa saya membaca?, apa yang harus saya baca?, dan sebagainya. Jika ini yang terjadi, saya menduga problemnya adalah Anda tidak tahu apa manfaat membaca bagi diri Anda. Keadaan ini memenjarakan diri Anda di tengah belantara luas yang tidak diketahui mana pangkal dan ujungnya. Ingin melangkah kemana saja selalui dihantui kata salah, karena tidak tahu kemana tujuan yang hendak dicapai, akhirnya hanya berdiam diri di tempat semula. Nah dalam hal ini saya teringat dan bagi saya menarik untuk meruntuhkan “tembok kebingungan” yang mengurung diri Anda tersebut, yaitu AMBAK. AMBAK tidak hanya menarik bagi diri saya, namun sudah saya buktikan keampuhannya untuk menghancurkan tembok-tembok raksasa yang menghalangi saya ketika hendak membaca. Istilah AMBAK pertama kali saya temukan dalam Mmengikat Makna Update.
Penulis buku ini, Hernowo mengadopsinya dari buku Quantum Learning yang ditulis oleh Bobby de Potter dan Mike Hernacki (1999) yang diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Istilah AMBAK dilahirkan dari sebuah akronim, Apa Manfaatnya BAgiKu?. Intinya adalah menumbuhkan motivasi dalam diri kita dengan mengetahui manfaat yang akan kita peroleh ketika kita melakukan sesuatu. Seperti misalnya, ketika Anda hendak memulai sebuah pekerjaan, biasanya akan dibayangkan hasil apa yang Anda peroleh dari pekerjaan itu. Kalau Anda bisa membayangkannya, oh...saya nanti akan mendapat sejumlah uang misalnya, tentu Anda akan semangat melakukan pekerjaan itu.