Mohon tunggu...
Saikhunal Azhar
Saikhunal Azhar Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis akan mati, tapi karyanya akan tetap abadi. karena itu menulislah untuk kebahagiaanmu di akhirat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manajemen Efektif Pengembangan Industri Perbatikan Nasional Berbasis Sumber Daya Lokal

1 Juni 2014   23:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:50 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MANAJEMEN EFEKTIF PENGEMBANGAN INDUSTRI PERBATIKAN NASIONAL

BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

Saikhunal Azhar*

Pendahuluan

Industri perbatikan di Indonesia telah menempuh perjalanan sejarah yang cukup panjang, hingga mampu melewati ruang waktu di segala zaman. Meski sejauh ini belum diketahui awal mula sejarah batik secara tepat, namun artifak batik berusia lebih dari 2000 tahun pernah ditemui. Hal tersebut menandakan bahwa, dari manapun asalnya batik telah menjadi warisan peradaban dunia, (Sila lawati, www.story-of batik.com).

Kini, hampir semua orang di seluruh penjuru dunia telah mengenal dan bersinggungan langsung dengan batik. Mulai dari strata sosial di level paling atas hingga masyarakat di kelas paling bawah. Mulai dari kualitas yang paling mewah hingga kualitas yang paling rendah. Batik telah menembus segala ruang sosial di sepanjang peradaban umat manusia.

Indonesia patut berbangga karena bagaimanapun batik telah menjadi ikon nasional, setidaknya bagi penggemar dan pecinta batik itu sendiri. Predikat itu didasarkan pada sebuah alasan historis yang cukup kuat, di mana batik telah mewarnai perjalanan bangsa ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka dari semua bentuk imperialisme asing. Sejarah perbatikan di Indonesia telah di kenal sejak pada masa kerajaan Majapahit dan pada masa penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa.Namun beberapa catatan menyebutkan, bahwa pengembangan batik banyak di lakukan pada masa kerajaan Mataram dan kemudian berlanjut pada masa Kerajaan Solo dan Yogyakarta. Dari sini seni batik berkembang luas ke beberapa daerah. Penyebaran ke arah barat antara lain adalah, Pekalongan, Banyumas, Tegal, Cirebon, Tasikmalaya hingga Jakarta. Sedangkan penyebaran ke arah timur adalah, Kudus, Lasem, Ponorogo, Mojokerto, Jombang hingga Madura.

Pada awalnya, batik merupakan kebudayaan para raja sehingga hanya diproduksi secara terbatas dan hanya dipergunakan di lingkungkan keraton saja. Namun dalam perkembangannya kemudian, kesenian batik tidak hanya didominasi oleh kalangan raja saja, tapi telah menjadi milik rakyat umum. Khususnya bagi rakyat Jawa pada periode akhir abadke-18 atau sekitar awal abad ke-19.Pada kurun waktu tersebut kain batik mulai diproduksi secara massif sebagai komoditas industri rakyat dan diperjualbelikan dalam pasaran bebas.

Proses produksi batik pada periode tersebut dilakukan secara manual yang kemudian populer disebut batik tulis. Bahan kain putih yang dipergunakan pada umumnya merupakan hasil tenunan sendiri. Sedangkan bahan-bahan pewarna semuanya berasal dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang diolah sendiri, sesuai komposisi warna yang diinginkan. Antara lain terbuat dari pohon mengkudu, pace, kunyit dan lain-lain. Kemudian pada proses akhir biasanya dicuci menggunakan lerak untuk memperoleh hasil yang bersih dan halus.

Sejalan dengan meningkatnya aktivitas perdagangan antar negara pada periode 1920-an, industri batik tradisional mulai mengalami pergeseran dalam pola produksinya. Terutama akibat pengaruh masuknya obat-obat pewarna dan teknik batik cap yang diperkenalkan oleh para pedagang asal Cina di tanah air. Teknik batik cap lebih praktis dan lebih cepat untuk memperoleh produksi massal. Demikian juga dengan obat pewarna buatan yang memudahkan proses pewarnaan sehingga tidak perlu lagi mengolah dari bahan-bahan alam (20 tahun GKBI dalam GKBI.Info).

Dengan perubahan pola produksi ini, aktivitas industri perbatikan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Ruang gerak pemasarannya pun tidak hanya berhenti di Pulau Jawa ansich, namun telah menyebar ke beberapa wilayah nusantara yang lain.Iwan Tirta dalam Batik, A Play of Light and Shades (1996) mencatat, pada masa-masa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 batik Lasem sudah terkenal bukan hanya di Jawa, tetapi hingga ke seluruh Kepulauan Nusantara bahkan lebih jauh lagi. Lasem hanyalah satu diantara banyak sentra batik di Indonesia yang tumbuh sebagai parameter kebangkitan industri perbatikan kala itu. Hal ini sekaligus menjadi momentum pertumbuhan batik di Indonesia sebagai sebuah kekuatan industri nasional yang kokoh dan menjanjikan. Karena batik dijadikan sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat pribumi dalam menghadapi penjajahan asing di bumi pertiwi.

Batik Nasional Di Era Kekinian

Bagaimana kondisi eksisting industri batik nasional di era masa kini? Secara kuantitatif barangkali dapat dikatakan bahwa grafik pertumbuhan industri perbatikan dilihat dari segala segi berada pada angka yang cukup menggembirakan. Setidaknya hal ini diindikasikan melalui beberapa aspek, antara lain adalah; peningkatan jumlah produksi batik sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar, diversifikasi produk yang semakin beragam, peningkatan jumlah pengusaha/perajin dan pengguna produk batik atau konsumen yang semakin meluas. Namun apakah hal itu telah menjadi sebuah alasan yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa industri perbatikan nasional tengah melenggang tanpa menyisakan persoalan?

Menurut Artisan batik Iwan Tirtaamidjaja, perkembangan batik di masa kini ibarat wine, esensinya semakin berkurang dan terus berkurang dari waktu ke waktu hingga akhirnya menjadi air. Demikian pula dengan batik, dari waktu ke waktu kualitasnya semakin berkurang, meski secara kuantitatif terus bertambah. Menurutnya, hal itu terjadi karena nilai filosofi batik telah mulai pudar terutama yang terjadi pada sejumlah produk batik printing yang dibuat asal-asalan sekadar untuk memenuhi permintaan pasar.

Sejak ditemukannya teknologi batik printing pada dekade 1970-an, produksi batik print sangat melimpah di pasaran, namun dengan harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan batik tulis. Hal itu disebabkan oleh pengaruh persaingan bisnis pada industri perbatikan yang kurang memperhitungkan nilai filosofi, kearifan lokal dan tradisi budaya sebagai esensi keistimewaan seni batik Indonesia. Nilai filosofi dan unsur budaya lokal dalam batik cenderung semakin terpinggirkan. Dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa seni batik kehilangan rohnya sebagai warisan budaya Indonesia (Indonesian heritage) yang bernilai unggul dan penuh keunikan.

Seandainya benar sinyalemen itu terjadi, berarti terdapat sindrome negatif dalam fenomena perbatikan nasional saat ini. Oleh sebab itu gejala ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan mengancam kematian industri perbatikan Indonesia di masa mendatang. Apalagi di tengah ketatnya kompetisi global yang semakin terbuka. Malaysia bahkan telah mencanangkan program kembali ke batik pada tahun 2003. Serangkaian itu Malaysia telah mulai gencar mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.

Padahal menurut Sulaiman Abdul Ghani, Ketua Batik International Research and Design Acces University of Technology MARA Malaysia, Malaysia baru mengenal batik pada tahun 1920-an khususnya di daerah Trenggano dan Kelantan yang sebenarnya bersumber dari Indonesia, terutama daerah Cirebon dan Pekalongan. Kemudian dijadikan industri pada tahun 1950-an, dan sejak tahun 1960-an baru ada identitas Malaysia-nya. Ironisnya lagi bahwa Malaysia baru mengenal canting pada tahun 1970-an. Memasuki tahun 1985 batik Malaysia terpuruk karena tidak ada inovasi desain dan pewarnaan. Namun kini mereka telah bangkit kembali, bahkan telah mulai ekspansi ke berbagai benua, (Kompas, 11 Desember 2005).

Apa yang telah dilakukan oleh Malaysia di atas, menurut hemat penulis sangat menarik untuk dikaji lebih jauh sebagai bahan kontemplasi untuk menatap ke depan bagi pengembangan industri perbatikan nasional. Sekurang-kurangnya sebagai motivator untuk menyusun strategi dan manajemen pengembangan industri perbatikan dalam percaturan global. Tentu merupakan sebuah ironi kalau seandainya perbatikan Indonesia dilangkahi oleh negara lain yang pada masa lalu justru belajar dari kita. Sekadar untuk membandingkan, bahwa Indonesia sudah mulai membatik sejak abad ke-7 sedangkan Malaysia baru mulai belajar membatik dari Indoensia pada tahun 1920-an.

Oleh sebab itu, seluruh elemen industri perbatikan di Indonesia kini harus mulai bangkit dan bergerak serta melakukan beberapa langkah strategis untuk mengantisipasi terjadinya era persaingan terbuka secara total. Sebab tidak menutup kemungkinan, pada saatnya nanti industri perbatikan mancanegara akan “membatik” di pasar dalam negeri. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Malaysia di atas, adalah fenomena nyata yang menandakan peta persaingan global industri perbatikan sudah mulai terbuka. Dalam konteks ini maka yang akan berbicara adalah regulasi pasar, dimana kualitas dan keunggulan suatu produk akan sangat menentukan eksistensi produk itu sendiri. Akhirnya kini hanya ada dua pilihan yang harus ditentukan sekarang kalau industri perbatikan Indonesia tidak ingin tertinggal; melenggang sebagai pemenang atau mundur sebagai pecundang.

Manajemen Pengembangan Industri PerbatikanMasa Depan

Batik memiliki dua sisi sama penting yang saling melengkapi, yakni sebagai aset budaya bangsa sekaligus sebagai aset industri nasional. Kedua sisi ini menurut hemat penulis penting untuk digarisbawahi sebagai dasar orientasi dalam penyusunan konsep manajemen pengembangan batik di masa depan. Mengapa?, karena batik tanpa nilai budaya akan kehilangan rohnya dan batik tanpa sentuhan industri tidak dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi pembangunan ekonomi bangsa. Oleh sebab itu maka kedua sisi ini harus dipandang sebagai kesatuan yang utuh dan komprehensif.

Sebagai entitas tradisi budaya yang di dalamnya terkandung nilai filosofi, kearifan lokal dan keunggulan estetika merupakan nilai tambah tersendiri bagi perbatikan Indonesia. Hal ini tentunya harus dipahami sebagai kekuatan besar yang harus terus dipertahankan eksistensinya dalam kerangka pengembangan industri perbatikan di masa depan.

Sedangkan sebagai entitas industri nasional, pengembangan perbatikan nasional harus memiliki road mape yang jelas sebagai kerangka acuan strategis. Sehingga orientasi pengembangan industri perbatikan berjalan sesuai arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian diharapkan pengembangan industri perbatikan di Indonesia menjadi lebih fokus dan efektif.

Sementara itu untuk mencapai arah dan tujuan tersebut diperlukan beberapa perangkat (ware) pendukung yang bersifat teknis. Antara lain adalah, technology ware, human ware, information ware, dan organization ware. Technology ware atau perangkat teknologi dalam konteks pengembangan industri perbatikan meliputi beberapa hal. Pertama, teknologi pembuatan kain dengan kualitas tinggi untuk bahan dasar batik (teknologi pertekstilan). Upaya ini diperlukan agar suplai bahan baku kain dapat diproduksi sendiri dari bahan asli dalam negeri sehingga dalam jangka panjang suplai bahan baku kain tidak tergantung lagi dengan suplai dari luar negeri.

Kedua, teknologi pewarnaan batik. Seperti telah diketahui bahwa pewarnaan batik hingga saat ini masih menggantungkan dari obat-obat pewarna buatan luar negeri. Padahal sesungguhnya kondisi alam Indonesia sangat kaya dengan bahan-bahan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna. Bahkan sejak pertama munculnya batik, hal ini telah dilakukan oleh para pembatik kala itu. Persoalannya sekarang adalah bagaimanabahan-bahan alam yang tersedia itu dapat diolah dengan sedemikian rupa sehingga menghasilkan pewarna batik dengan kualitas tinggi, baik dari sisi ketahanan maupun keragamannya. Sehingga selain memiliki daya tahan yang mampu menembus dimensi waktu di segala zaman, juga akan diperoleh inovasi warna yang semakin berkembang dari waktu ke waktu. Dengan mendasarkan pada potensi sumber daya lokal ini, maka perkembangan industri perbatikan Indonesia di masa mendatang akan tumbuh sebagai industri yang kokoh karena dibangun dengan kemandirian.

Ketiga, teknologi desain. Sebagai sebuah karya seni yang sarat dengan nilai estetika maka kualitas dan kelas batik sangat dipengaruhi oleh kualitas desain sebagai motif-motifnya. Teknologi desain dalam pengembangan industri perbatikan diperlukan agar motif batik tidak monoton dan akhirnya lekang di makan zaman. Desain motif dalam seni batik sangat dipengaruhi oleh berkembangnya peradaban umat manusia di zamannya. Misalnya motif batik pada zaman raja-raja tentu akan berbeda dengan motif batik yang ada pada zaman sekarang. Namun demikian teknologi desain dalam seni batik bukan dimaksudkan untuk menanggalkan motif lama yang klasik. Justru teknologi desain di sini menurut hemat penulis dimaksudkan agar seni batik tetap indah dipandang dengan selalu mengikuti trend perkembangan zaman namun dengan tetap mempertahankan pakem sebagai sebuah tradisi warisan Indonesia yang bernilai tinggi. Sehingga filosofi batik tidak hanyut ditelan ganasnya peradaban. Dengan demikian teknologi desain dalam hal ini sesungguhnya lebih berperan sebagai kolaborator antara pakem dan kontemporer. Mempertahankan pakem bukan berarti berhenti tanpa inovasi, namun justru inovasi itu bisa dilakukan dengan menggali dan mengembangkan akar budaya bangsa dalam motif batik.

Perangkat berikutnya adalah human ware atau perangkat manusia. Manusia adalah pelaku industri oleh karena itu manusia juga memiliki peran yang cukup penting untuk mengembangkan industri perbatikan. Di sini ada dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Pertama, mindset atau cara berpikir dan kedua skill. Cara berpikir yang dibutuhkan dalam hal ini adalah kesadaran untuk maju dan berkembang sebagai prasarat dalam mengikuti kompetisi global. Mental sebagian masyarakat kita saat ini yang merasa cukup mapan dan filosofi “alon-alon waton kelakon” tampaknya harus ditinjau ulang, karena sudah tidak relevan lagi dalam persaingan global. Sebab hal itu cenderung untuk membuat orang menjadi malas berkreasi dan berinovasi karena sudah merasa cukup dengan apa yang ada dan didapatkan saat ini. Jika cara berpikir seperti ini masih tetap dipertahankan, dikhawatirkan industri perbatikan kita akan dilibas oleh kompetitor manca negara. Sementara skill dalam hal ini adalah keahlian secara teknik dalam menguasai proses produksibatik secara baik dan benar, sehingga mampu menghasilkan produk batik berkualitas tinggi sesuai selera pasar. Dengan demikian produk batik yang dihasilkan akan terus diminati pembeli. Untuk itu diperlukan sejumlah pelatihan dan pendidikan yang mengarah pada peningkatan pengetahuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perbatikan.

Kemudian perangkat informasi (information ware). Adalah terbukanya akses secara luas di bidang informasi, baik informasi dari dalam maupun dari luar. Informasi pada saat ini sudah menjadi kebutuhan vital bagi setiap orang, ibarat jendela dunia. Sebuah kata bijak berbunyi; barangsiapa bisa menguasai informasi maka ia akan menguasai dunia. Dengan terbukanya informasi memungkinkan kita untuk mengintip perkembangan dunia tanpa harus dibatasi oleh sekat geografis dan jarak yang begitu jauh. Apalagi dengan perkembangan teknologi cyber dewasa ini yang memungkinkan setiap orang untuk mengetahui informasi apa saja dalam hitungan detik, semudah menekan tombol keyboard. Dalam upaya pengembangan industri perbatikan, informasi dibutuhkan untuk memantau kondisi pasar, perkembangan kompetitor atau bahkan keperluan lainnya sebagai penunjang. Oleh sebab itu, perangkat informasi mutlak harus dikuasai oleh para pelaku industri perbatikan.

Perangkat yang paling akhir adalah organisasi (organization ware).Organisasi atau dalam beberapa teori ekonomi biasa disebut dengan aspek kelembagaan merupakan sebuah upaya untuk menghimpun para pelaku industri perbatikan dan stake holders yang terkait. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti paguyuban, asosiasi, koperasi dan lain sebagainya. Fungsinya antara lain adalah untuk memudahkan koordinasi, terutama dalam hal menciptakan iklim persaingan yang sehat secara internal dengan menetapkan kesepakatan harga bersama. Selain itu adalah terkait dengan akses permodalan, baik yang bersifat grand dari pemerintah maupun loan dari pihak perbankan atau investor. Dengan pola kelembagaan seperti ini permasalahan yang muncul terkait dengan industri perbatikan dapat dengan mudah diatasi.

Penutup

Beberapa hal di atas merupakan manajemen efektif untuk mengembangkan industri perbatikan nasional di masa mendatang. Namun semua itu tentu tidak akan dapat dioperasionalkan dengan baik dan efektif kalau tidak dibarengi dengan niat yang kuat oleh semua stakeholders industri perbatikan. Mulai dari para pengusaha yang di dalamnya meliputi para buruh dan pekerja, pemerintah dan masyarakat Indonesia secara luas. Karena semua memiliki peran signifikan sesuai proporsinya masing-masing. Untuk itu diperlukan pola kemitraan dan kebersamaan yang solid diantara semua pihak agar mampu menghadapi kompetisi global dengan tanpa beban. Sebaliknya, jika masing-masing pihak berjalan sendiri-sendiri tentu tidak memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menghadapi persaingan tersebut.

Akhirnya semua pihak harus duduk bersama, untuk merumuskan roadmape pengembangan industri perbatikan nasional sebagai kerangka acuan strategis yang didalamnya meliputi arah dan tujuan serta strategi-strategi untuk mencapainya. Dengan semangat kemandirian dan kebersamaan itu, diharapkan industri perbatikan Indonesia mampu menatap ke depan, melangkah maju untuk memenangkan persaingan terbuka dalam konteks percaturan global. Hal ini sekaligus menjadi entrypoint bagi industri Indonesia untuk mulai “membatik” dunia dengan penuh bijaksana. Semoga.

*Peminat sosial budaya, tinggal di Jepara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun