Mohon tunggu...
Muhammad Azhar
Muhammad Azhar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

AUDITOR

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol dan Policy

23 Mei 2014   16:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Parpol dan policy, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ibarat sebuah corporate, parpol memproduksi policy dan menawarkan policy tersebut ke customer (pemilih) melalui pencalonan kader parpol di legislative, pemimpin daerah, dan presiden. Policy yang ditawarkan akan menjadi daya tarik bagi pemilih untuk memilih parpol tersebut. Keberhasilan parpol sebagai corporate akan terlihat seberapa bisa menjual policy dan memperoleh banyak customer. Semakin banyak customer yang didapat maka semakin besar pula "laba" yang mereka peroleh. "Laba" yang diperoleh bisa dilihat dari jumlah kursi parlemen yang mereka dulang dari pileg.

Parpol bisa diibaratkan sebagai perusahaan otomotif, ada penjualan produk baru dan after salesnya. Dua hal ini harus saling melengkapi dan harus berjalan dengan baik. Jika salah satunya tidak baik bisa dipastikan produk perusahaan tersebut akan banyak ditinggalkan oleh konsumen. Sama halnya dengan parpol, produk baru (policy) dan after sales (realisasi policy/komitmen atas policy).  Tetapi, kebanyakan parpol saat ini hanya bisa menjual policy tanpa memikirkan after salesnya. Imbasnya, semua policy hanya akan menjadi tumpukan barang rongsokan. Padahal dalam hal ini after sales lah yang paling penting,  Sejatinya semua policy yang dijual ke masyarakat direalisasikan sesuai dengan janji-janji.

Cukup ironis melihat pilpres kali ini, banyak yang memanfaatkan kosa kata ampuh “aji mumpung” tanpa memikirkan janji atau pernyataan yang telah dijual. Seolah-olah janji hanya pemanis kata yang tidak harus dipenuhi. Tidak hanya janji atau pun pernyataan, sumpah jabatan dibawah Al-Qur’an tidak lagi menjadi hal yang penting. Semuanya hanya dianggap sebagai formalitas tanpa ada esensi apapun. Lebih ironisnya lagi, salah seorang cawapres pernah membuat testimoni yang pernah saya baca disalah satu media online, “(Jokowi) Jangan berpikir dulu jadi presiden. Karena masyarakat mendukung itu baru dalam tahap harapan, nah harapannya itu harus dibuktikan , macet masih macet, banjir masih banjir, kumuh masih. Belum ada bukti suksesnya”. Parahnya sang pembuat testimoni saat ini malah menjadi cawapres dari yang diberi nasehat.

Siapa lagi yang harus kita percayai untuk memimpin bangsa ini?, akan kah kita bisa percaya dengan orang yang telah mengelabui dan mengkhianati kita dan Tuhan-Nya? Akan kah kita memilih pemimpin yang nyata-nyatanya tidak bisa menepati janjinya?. Pemimpin yang seperti apa yang kita butuhkan? Yang terbukti ingkar janji? Yang maruk jabatan?.

Cerdaslah memilih, Anda bukan customer yang bisa di dibodoh-bodohi. be smartt... Happy Jum'ah barokah...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun