Mohon tunggu...
hanyn azka
hanyn azka Mohon Tunggu... -

seorang yang ingin terus mengintip dunia lebih luas diluar dunianya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tangisan sang Kenanga

9 Oktober 2010   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:35 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

1 tahun 6 bulan yang lalu

Ku edarkan pandangan mengitari sebagian komplek pesantren , dan mulai mengaguminya. Dalam batas maksimal penglihatanku, di depan rumah pengasuh, sebuah taman kecil dengan aliran air yang di buat sengkedan, menciptakan air terjun kecil-kecil yang sungguh menampakkan sejuk, di kelilingi batu-batu kali besar dan kecil agak hitam yang tertata tak begitu rapi, nampaknya memang sengaja dibuat demikian untuk memberi kesan natural. Dengan beberapa kelopak dedaunan dan bunga yang jatuh di air menjadikannya semakin terasa hidup Tak begitu jauh di sebelah kanannya,.berdiri angkuh sosok akasia yang dengan kerindangannya sedikit mengurangi terik siang itu,. Lalu berjejer rapi anggrek ungu dan mawar putih menyemarakkan suasana taman , di tambah kehadiran kenanga yang lamat-lamat ku hirup wanginya, ku biarkan aromanya mengisi ruang di paru-paruku, memberiku ketenangan.

Sejenak ku berhenti, meresapi aroma taman itu, mengulang kembali masa dimana 10 tahun yang lalu pernah ku injakkan kakiku di komplek pesantren ini juga, dan membiasakan tingkahku dengan peraturannya selama 3 tahun.

Banyak hal berubah. Taman ini dulu tak pernah ku lihat, jalan pesantren ini dulu hanyalah jalan setapak berkerikil, yang selalu becek di musim hujan. Rumah pengasuhpun hanya terbuat dari bilik bambu dengan gaya rumah panggung, yang hanya di hiasi beberapa perabotan di dalamnya. Sementara kamar-kamar santri tak jauh berbeda dengan keadaan rumah Kyai, berbilik bambu, namun setengah tinggidindingnya menggunakan semen, dan berlantai keramik, sedikit lebih mewah dari rumah tinggal Kyai yang keseluruhannya berbahan bambu.

Kini lihatlah, rumah pengasuh telah berdiri gagah di tengah komplek pesantren. Bangunan tiga lantai yang cukup besar itu seakan menjadi panglima yang berdiri di tengah-tengah prajuritnya. Lantai pertama yang merupakan tempat tinggal keluarga Kyai, bersebelahan dengan kantor pengurus putri. Di atasnya, lantai kedua dan ketiga di fungsikan sebagai tempat tinggal para santri putri.

Sementara mengelilingi rumah pengasuh, berdiri kamar-kamar para santri putra dengan papan nama kamar di depannya, "mekkah 1,2,3'', "madinah1,2,3", "muzdalifah","mina",dst.

Ah, semua berbeda keadaannya kini. Berbeda juga kah semangat para santrinya? Atau tetap sama seperti dulu? Aku tak tahu.

Aku melangkah, lebih mendekati rumah pengasuh. Tak ku hiraukan keriuhan suara santri-santri yang tengah melantunkan nadzom alfiyah di masjid besar milik pesantren, tak jauh dari rumah pengasuh. Aku tersenyum, akhirnya aku memilih pesantren ini. Tawaran untuk berbagi ilmu di pesantren yang tak begitu besar ini datang, hanya selang dua hari setelah ku dapat tawaran yang serupa dari seorang paman di jawa timur.

Pesantren ini tak besar memang, namun dengan500 santri putra dan 300 santri putri rasanya tidak bisa di sebut kecil juga. Letaknya yang berada di kaki gunung adalah salah satu alasanku mengapa lebih memilihnya, selain tentu saja pertimbangan lain.

8 bulan yang lalu

Tak terasa 8 bulan terlewati, ku telah masuk dalam komunitas pesantren ini, sebagai pengajar. Namun aku lebih sering di daulat untuk mengisi berbagai acara diluar sebagai qori'ah atau pelantun sholawat dengan dua santri putri yang memang memiliki suara emas.. Berkali-kali Ibu Nyai membawa kami ke luar pesantren untuk keperluan tersebut. Dan mungkin karena itulah namaku cepat meluas.

Kedekatanku dengan Ibu Nyai benar-benar ku syukuri. Aku kehilangan sosok ibu ketika aku masih begitu haus akan air susunya, beliau mengalami pendarahan berkepanjangan setelah memperjuangkan tangisan pertamaku. Dan Ibu Nyai, beliau mampu memberikan nafas seorang ibu untukku. Sementara Ayahku, setengah tahun sebelum ku menerima tawaran dari pesantren ini, beliau pergi mneyusul ibuku.

Lalu kau datang, menebarkan pesonamu, dengan ilmumu yang samudera, rautmu yang pangeran, dan laku yang selayaknya membuat kagum siapapun yang berhadapan. Kau, Wildan, anak Ibu Nyai yang baru datang dari Malaysia, mulai menempati sudut lain hatiku, yang semulanya tak pernah ku bayangkan akan ada, sebab tak pernah ada sebelumnya yang menempati sudut itu, tak satupun. Dan memang seperti itulah yang ku inginkan, ku telah menyiapkan sudut istimewa itu hanya untuk pendampingku kelak, pendamping yang telah terpilih dalam tulisan-Nya.

Sebesar kekuatan yang ku miliki, ku coba membuang angan yang tak seharusnya, menepikan rasa yang tak selayaknya. Hingga akhirnya, kau menawarkan hatimu untuk menempati sudut itu, mengizinkanku memimpikanmu, bahkan bukan sekedar mimpi belaka. Kau suguhkan keyakinan itu dengan restu kedua orang tuamu, yang juga telah ku anggap kedua orang tuaku sendiri.

Tak pantaskah bila kemudian ku teramat bahagia? Selayak kebahagiaan laila ketika bertemu dengan qaisnya, seperti syurganya Juliet saat Romeo berjanji untuknya. Anganku bahkan lebih dari itu saat kedua orang tuamu langsung setuju ketika kau menyebut namaku. Aku merasa seperti Fathimah yang mendapatkan Ali.

Dan tangis syukurku hanya Tuhan yang tahu

5 bulan yang lalu

Banyak kejadian yang terkadang kita tak pernah bayangkan sebelumnya, dan bagaimanapun itu, kita harus siap menghadapinya.

Tiga minggu sebelum hari pernikahan kita. Mendadak nenekmu harus meninggalkan pesantrennya, Dengue Haemorrhagic Fever yang menyerang tiba-tiba membuatnya terpaksa menjalani rawat inap di rumah sakit. Dan semua perhatianpun beralih pada kesehatannya, semua turut sibuk berdo'a untuknya. Penghuni dua pesantren bermunajat untuk sang ibu ratu, pesantren ayahmu, dan pesantren kakekmu.

Seminggu, kadar trombositnya tak juga meningkat, bahkan lebih sering turun drastis. Darah yang terus keluar dari hidung dan mulutnya menyebabkan beliau harus terus di infus, padahal persediaan darah bergolongan AB sedikit sulit di dapatkan. Dan, setelah dua minggu nenekmu terbaring di rumah sakit, setelah dua minggu beliau berusaha melawan penyakitnya, mengalahkan virus-virus dengue yang terus menyerangnya, ternyata, Tuhan tak menghendaki kemenangan untuknya, mungkin kemenangan itu telah Dia persiapkan untuk beliau di tempat lain yang tak terjamah oleh virus-virus, tempat dimana hanya ada keabadian.

Akhirnya, rencana pernikahan kita yang hanya berselang satu minggu dari kejadian itupun terpaksa di batalkan. Aku tak menangis untuk itu, sungguh.Walau undangan telah di persiapkan, sudah tertulis lengkap dengan nama kedua mempelai, tempat dan waktu pernikahan, aku mengerti. Kakakku, yang akan menjadi waliku, keluarga besarku, tak ada yang mempermasalahkan penundaan ini, karena memang musibah itu cukup kuat untuk di terima sebagai alasan.

2 bulan yang lalu

Aku tak mengerti, mengapa tuhan menuliskan kisah ini? Apakah Dia ingin tahu bagaimana besarnya kecintaanku padaNya? Ataukah Dia menguji ketulusanku atas keputusan-keputusan yang Dia ambil tanpa menunggu persetujuanku lebih dulu? Atau, Dia ingin sekali lagi menunjukkan bahwa hanya Dia yang bisa mengatur alur cerita kita?. Aku tahu Dia ada, aku yakin Dia mendengarku, dan ku yakin juga inilah skenarioNya, hingga ku tak memiliki kekuatan untuk memprotesNya.

Sudut istimewa itu bukan untukmu, bukan!!

Seminggu yang lalu orang tuamu mendekatiku, mengatakan pelan-pelan padaku, sangat pelan hingga ku merasakannya sebagai bisikan. Namun, efeknya sungguh luar biasa bagiku, begitu luar biasa hingga saat ibumu memelukku, ku hanya mematung, tak bergerak, tak bersuara.

Pernikahan kita di batalkan, benar-benar di batalkan. Demi kakekmu. Dan kaupun terdiam saat itu, tentu saja ku tau kau takkan bisa membantah, seperti juga aku.

Kakekmu, yang di tinggalkan istrinya sejak 3 bulan lalu, berencana untuk menikah lagi, demi kelangsungan pesantrennya yang kini kehilangan sosok ibu Nyai. Beliau hanya memiliki satu putrii, ibumu, dan telah menikah. Semula beliau berharap menantunya bersedia tinggal bersamanya untuk turut mengelola pesantren miliknya, namun ternyata, menantunyapun memiliki tanggung jawab untuk meneruskan warisan ayahnya yang juga berupa sebuah pesantren.

Tak ada yang salah dengan itu, tak ada yang menentang keinginannya, demi sebuah kemaslahatan. Semua menyetujuinya, tak terkecuali dirimu. Namun, ketika beliau sebutkan siapa yang beliu pilih untuk menjadi pengganti istrinya, tak satupun mampu menyembunyikan rasa terkejut.

Tuhan…mengapa harus aku yang dia pilih? Atau diakah pilihanMu untukku? diakah yang Engkau tuliskan dalam skenarioMu untuk menempati sudut istimewa dalam hatiku itu? Tak adakah yang lain?.

tangisku hanya Tuhan yang tau.

1 bulan yang lalu

Kembali ku berdiri mematung di depan taman pesantren, meresapi wangi kenanga yang 1,5 tahun lalu mengantar bahagiaku, saat datang untuk memenuhi janjiku atas tawaran pesantren ini. Aromanya sungguh menenangkan, membuatku sejenak melupakan masa-masa yang seharusnya telah dapat ku tepis jauh. Tapi, melupakan ternyata tak semudah membuang daun-daun yang berserakan.

"assalamu'alaikum Fa" kau menyapaku

"wa'alaikumsalam warahmatullah" aku menjawab dengan perih yang masih tersisa.

Saat kau melewatiku, berjalan menuju masjid untuk mengisi pengajian hari ini, perih itu semakin nyata, merusak suasana hatiku yang semenitlalu dalam ketenangan. Sisa-sisa hatimu masih tertinggal didalamnya, dan ku yakin hatimupun masih menyimpan namaku. Suaramu yang bergetar saat menyapaku, tatapanmu yang terkadang ku dapati tengah mencuri, adalah buktinya. Namun kita berusaha menutupnya rapat.

Jawaban telah ku ambil ketika ku tak dapat memilih, tak ada pilihan bagiku. Mereka tak memberiku pilihan, atau tepatnya membuatku tak memiliki pilihan. Dia, kakekmu, adalah orang yang begitu di hormati, juga ayah dari ibumu. Sudah pasti ibumu tak ingin jika kau menikahiku sementara ayahnya menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Sedangkan kau? Cintamu padaku tak cukup kuat untuk membantah semuanya, aku tahu, dan aku sakit karena itu.

" mungkin saja aku menikahimu, tapi itu akan membuat Abah dan Ummi merasa tak menghormati kakek" katamu ketika itu, ketika ku tanyakan mengapa kau hanya diam.

" tapi tidakkah kau pertimbangkan bagaimana perasaanku?" suaraku mulai melemah, dan sedapat mungkin ku tahan air mata yang hampir saja mengalahkan kekuatanku.

"maafkan aku, aku sangat menghormati mereka"

"aku tak mau Abah dan Ummi menahan kecewa jika aku bersikeras menikahimu" lanjutmu.

"kau boleh menolak keinginan mereka , menolak lamaran kakekku, jika kau tak menginginkan itu.". ah, andai saja kau tahu bahwakeluargaku sangat menghormati kalian, terutama kakakku yang pernah menjadi penghuni pesantren kakekmu, maka kau akan tahu bahwa sulit bagi mereka menolaknya.

"seandainya aku ….."

"sudahlah Fa, mungkin memang Tuhan tak mengizinkanku memilikimu" kau memotong kalimatku, lalu segera beranjak pergi dengan luka yang kau sembunyikan.

Tak dapat lagi ku lawan keinginan air mata untuk segera menampakkan keberadaannya, mereka jatuh dalam isakku, perlahan dan terus perlahan membasahihatiku yang kering.

"seandainya aku juliet, mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan ketika cintanya tak dapat dia miliki". Kau tak pernah mendengar kalimat itu, dan tak akan pernah.

Ya, akhirnya dengan hati yang begitu luka, dan hanya karena rasa hormatku pada kalian, aku menerima lamaran itu. Pernikahan yang akan terlaksana, ternyata bukanlah pernikahan antara kau dan aku, dan aku tak pernah ingin hari itu datang.

Hari ini

Aku berdiri di tepi taman, meresapi wangi kenanga yang ku tau pasti akan menghadirkan ketenangan walau sejenak. Kenanga, saksi dari semua perjalanan ini, dia yang menemaniku saat bahagia merasuk, dia juga menghiburku saat duka menghadang.

Berjalan pelan, ku arahkan langkahku menuju sebuah bangku kecil dan duduk di atasnya, menyaksikan seorang bocah kecil yang tengah memetik kenanga, di temani Ayah dan ibunya.

Ada senyum disana, senyum ceria sang anak ketika menyerahkan setangkai kenanga untuk ibunya. Ada senyum sang ibu ketika mencium pipi anaknya, juga senyum sang Ayah ketika membelai rambut  buah hati mereka.

Tapi tidak di sini. Aku tak dapat tersenyum menyaksikan kebahagiaan itu. Senyumku telah hilang entah kemana, di telan luka yang begitu perih. Senyumku telah ku tukar dengan rasa hormat yang begitu besar. Senyumku telah kubunuh dalam diam. Yang tersisa kini hanya tangis…

Aku melangkah lagi, meninggalkan keceriaan keluarga itu, meninggalkan kenanga yang wanginya tak lagi mampu menenangkanku. Esok segalanya akan berubah, aku yakin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun