Pada 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang bertujuan memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa keputusan ini diambil melalui diskusi mendalam dengan DPR RI, mempertimbangkan kebutuhan fiskal dan stabilitas ekonomi nasional.
Namun, di tengah optimisme pemerintah, muncul kekhawatiran dari masyarakat. Kenaikan tarif ini diprediksi memengaruhi daya beli dan pola konsumsi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah PPN 12% akan menjadi solusi untuk memperkuat APBN, atau justru menambah beban ekonomi rakyat?
Latar belakang Masalah
Peningkatan tarif PPN memiliki tiga tujuan utama. Pertama, meningkatkan pendapatan negara sebagai salah satu pilar utama APBN. Pajak, termasuk PPN, menyumbang hampir 80% dari total penerimaan negara. Setelah pandemi COVID-19, kebutuhan belanja negara meningkat pesat, termasuk untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Indonesia masih bergantung pada utang untuk menutupi defisit anggaran, dengan risiko jangka panjang terhadap stabilitas fiskal. Kenaikan PPN diharapkan dapat memperkuat pendapatan domestik, mengurangi beban pembayaran utang, dan memperbaiki keseimbangan primer yang diproyeksikan mencapai defisit 2,13--2,45% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025.
Ketiga, menyesuaikan tarif dengan standar internasional. Saat ini, rata-rata tarif PPN global adalah 15,4%, sementara tarif PPN di negara-negara Asia seperti Pakistan dan India masing-masing 17% dan 18%. Dengan kenaikan menjadi 12%, Indonesia mendekati rata-rata negara maju, meski tetap lebih rendah dibandingkan China (13%) dan rata-rata OECD (15%).
Dampak terhadap Masyarakat dan Ekonomi
Kenaikan tarif PPN akan memengaruhi berbagai aspek ekonomi, khususnya konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 50% PDB. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan PPN sebelumnya pada April 2022, dari 10% menjadi 11%, menyebabkan inflasi melonjak hingga 0,95% (month-to-month). Hal serupa diperkirakan terjadi pada 2025, dengan dampak lebih besar pada kelompok menengah ke bawah.
Untuk UMKM, kebijakan ini dapat memengaruhi daya saing produk lokal. Kenaikan harga akibat PPN lebih tinggi berpotensi mengurangi konsumsi, sehingga menekan pendapatan usaha kecil dan menengah. Di sisi lain, sektor formal dapat lebih diuntungkan jika pemerintah mampu memperluas basis pajak dan mendorong transformasi ekonomi informal menjadi formal.
Namun, jika dikelola dengan baik, penerimaan tambahan dari kenaikan PPN dapat dialokasikan untuk program perlindungan sosial dan subsidi energi, sehingga membantu meringankan beban masyarakat.
Perbandingan dengan Negara Lain