Jika seseorang tersenyum dengan air mata tergenang di matanya, apa makna senyuman itu? Berbagai penafsiran dapat diberikan. Tetapi aku lebih suka mempercayai penafsiranku sendiri. Senyum itu lahir dari getaran rasa haru sekaligus gembira.
Dasuki tersenyum lalu memelukku erat-erat, kami berangkulan erat. Hari ini merupakan hari pembebasan ia dari penjara Sungai Buloh, Selangor, atas tuduhan menyelundupkan narkoba di tempat dia bekerja. Setelah saling melepaskan rangkulan, aku tuntun dia menuju mobil yang diparkir tak jauh dari tempat kami bertemu.
“Aku dah yakin kau tak bersalah ki,” ujarku membuka perakapan.
“Ya Alhamdulillah, aku dibebaskan tanpa syarat bahkan dengan permintaan maaf,” sahutnya sambil tertawa kecil.
“Syukurlah kalau begitu, salah tangkap seperti ini memang sering terjadi, terkadang itu memang sengaja dilakukan untuk menyelamatkan orang yang bersalah.”
Dasuki tersenyum, ia tetap berwajah cerah dan murah senyum setelah 2 bulan mendekam di tahanan. Kelembutan hatinya masih tercermin di wajahnya itu.
“Kau tidak menuntut balik?” tanyaku.
“Apa perlu?” dia balik bertanya.
“Ya perlulah, supaya pihak yang berwenang tidak lagi sewenang-wenangnya menahan orang yang tidak bersalah.” Aku berkata dengan suara agak tinggi sambil menyetir mobil.
Agak lama dia diam, kemudian dia berkata ”Ada pepatah bilang, orang miskin jangan melawan orang kaya, orang kaya jangan melawan pejabat, lha apalagi saya orang miskin mau lawan pejabat, pejabat luar negeri pula, modar!!”
“Sudahlah,” katanya melanjutkan, “biarlah itu jadi pengalaman berharga untuk mereka. Dengan mereka berminta maaf sebenarnya mereka telah mengaku bersalah, untuk apa kita perpanjang lagi.”
Dasuki adalah Mahasiswa beasiswa tingkat tiga di sebuah Universitas di Malaysia. Bapaknya sudah tidak ada ketika ia lahir dan ibunya meninggal sejak dia lulus SMP, Uki yang menjadi anak terakhir menjadi tanggung jawab abangnya. Ia bukan termasuk orang yang pintar, akan tetapi rajinnya yang luar biasa dapat menjadikannya lebih daripada pintar.
Bekal mandiri dan gigihnya hasil nyantri selama 6 tahun sangat membekas dalam kehidupan sehari-harinya. Terbukti ia lulus dengan nilai terbaik dan ditawarkan beasiswa untuk kuliah di negeri Jiran. Sembari kuliah ia juga sering bekerja sambilan untuk tambah-tambah keperluan atau untuk ditabung, mulai dari tukang cuci piring sampai menjadi office assistant pernah dirasakannya. Kawan-kawan mengenalnya sebagai pribadi yang tekun, ulet, dan rendah hati.
Karena itu banyak orang terkejut ketika mendengar Dasuki masuk penjara dengan tuduhan penyelundupan Narkoba di daerah ia bekerja. Ketika itu ia sedang berjaga warung atau kedai runcit dalam bahasa setempat. Tak ada seorangpun percaya Uki terlibat dalam kasus itu. Tetapi aparat keamanan yang entah darimana menerima informasi tersebut langsung menggerebek kedai saat ia sedang melayani pembeli, dan menemukan 2 kg cocaine di gudang kedai tersebut. “Padahal aku sama sekali ga pernah ke gudang itu, tugas aku cuma di depan melayani pembeli,” cerita dia kepadaku ketika ku menjenguknya di penjara sebulan lalu.
Sejak itu, Dasuki resmi menjadi tahanan. Selama ia ditahan, aku dan beberapa kawan sering menjenguknya dan terus berusaha untuk membebaskannya melalui jalur hukum. KBRI juga ikut membantu dengan menyediakan jasa pengacara. Kemalangannya terus berlanjut, tidak hanya ditahan, beasiswanya juga dicabut, dan dia di DO oleh Universitas.
Selalu dalam setiap doa, aku dan kawan-kawan selalu menyempatkan berdoa untuk dia, semoga Allah mudahkan urusan dia, karena Allah berjanji akan selalu memperlihatkan yang benar dan menghukum yang salah. Dan betul saja, polisi mampu menangkap penjahat tersebut setelah ia mendekam 2 bulan di penjara. Uki bebas tanpa syarat dengan penyesalan para aparat yang menangkap dia.
“He is a phenomenon!” komentar Abdul tentang Dasuki. Dia benar-benar mengagumkan dan benar-benar menjadi contoh di kalangan teman-temannya. Sebagai mahasiswa undergraduate, ia berbeda dengan mahasiswa kebanyakan yang tidak serius dalam kuliah dan suka menghamburkan uang orangtua mereka. Dasuki justru sangat serius kuliah, baginya tujuan utama ia datang kesini adalah untuk belajar, saking seriusnya hingga ia sering lupa makan dan tidur hingga sering sakit-sakitan. Akhirnya, kawan-kawan terdekatnya berinisiatif mengajaknya keluar jalan-jalan waktu weekend agar dia agak sedikit bersantai, awalnya ia menolak tapi lambat laun ia pun menurut. Selain sibuk belajar, ia juga pandai membagi waktunya untuk bekerja part-time untuk pendapatan tambahannya.
Pekerja keras dan mental baja, pribadi itu telah menjadi asing bagi kaum muda Indonesia saat ini. Oleh karena itu, komentar kekaguman terlontar dari Abdul yang fasih berbahasa inggris dan kini sudah lulus dan bekerja di perusahaan asing ternama di negeri itu.
“Dia itu manusia langka,” ujar Bayu, jurnalis majalah kampus setempat yang sering menulis profil Dasuki, karena beberapa kali menjadi mahasiswa teladan.
Sesampainya di kontrakan, sudah ada Bayu dan Abdul yang menunggu kedatangan kami, setelah saling berpelukan, kami pun duduk mengobrol sambil melepas rindu. Kami bertiga memang sengaja berkumpul langsung menemui Abdul untuk membahas rencana kami untuk menuntut balik aparat yang salah tangkap tersebut.
Setelah saling basa-basi dan menanyakan kabar, Bayu membuka topik baru, “2 bulan waktu Dasuki terbuang, masa kita diam saja? Kita harus tuntut balik.”
“Bukan menuntut balik, tapi menuntut. Uki kan baru ditahan belum dituntut dan diajukan ke pengadilan,” balas aku.
“Ya apapun namanya, kita harus bela dia,” tambah Bayu berapi-api.
“Kalian setuju?” Uki bertanya sambil menatap kami bertiga. Serentak kami bertiga mengangguk.
Kemudian Dasuki mengalihkan pandangan ke Abdul, Sales Manager perusahaan asing tersebut membalas kembali pandangannya.
“Abdul dan kalian semua, aku bukanlah phenomenon. Kalian berlebihan menilaiku. Kalian beranggapan seperti itu karena kalian hidup di lingkungan yang lain. Banyak sekali orang-orang lain yang lebih phenomenon di sekitar kita dan mengusik rasa kagum. Cuma perhatian orang saja tidak kepada mereka.”
Ucapannya tidak bisa kami jawab, misi kami hampir dapat dipastikan gagal.
“Dibandingkan dengan orang-orang itu, aku tidak ada apa-apanya. Aku yakin di lingkungan kalianpun lebih banyak orang yang berbudi luhur, kalian saja luput mengamatinya. Penghormatan kalian terlalu berlebihan begitu mungkin karena faktor persahabatan kita, bukan karena keadaanku kan?”
“Bukan itu maksud kedatangan kami,” potong Bayu.
“Aku mengerti, kalian ingin menuntut karena aku ditahan karena perbuatan yang tidak aku lakukan. Iya kan? Untuk apa buag-buang waktu kalau pihak yang menahanku saja sudah meminta maaf. Itu saja menunjukkan bahwa mereka itu orang baik. Apalagi, selama ditahan aku sudah menjalin persahabatan dengan mereka. Apa perlu aku merusak persahabatan itu?”
“Persahabatan?” jawab aku.
“Ya, seperti dengan kalian.”
Setelah itu lama tidak terdengar suara dari ruangan itu. Aku tidak tahu apa yang berkecamuk di benak teman-temanku. Yang ku tahu, Berbagai pertanyaan menyerangku. Dapatkah hubungan dari sebuah ketidakadilan disebut persahabatan? Tidakkah itu hanya persahabatan semu agar korban tidak menyimpan dendam? Tidakkah rasa takut yang membuatnya pasrah seperti itu? Adilkah jika kami sahabat-sahabatnya memintanya merusak persahabatan yang telah dijalinnya itu?”
Hingga kami meminta diri dari kontrakannya, pertanyaan lain muncul bertubi-tubi. Sambil melangkah menuju mobil, kudengar suara Abdul “He is a great man, he really is.”
Bayu menyahut “bahkan terlalu great, sehingga yang hitam menjadi putih dimatanya”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H