Hingga detik ini, berbagai jejaring sosial seperti Twittermasih disibukkan dengan “ocehan” tentang curhat Alanda Kariza, mahasiswi Jurusan Bisnis Internasional Universitas Bina Nusantara yang juga merupakan putri sulung dariArga Tirta Kirana, Mantan Kepala Divisi Corporate Legal Bank Century yang didakwa 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 miliar rupiah terkait dugaan tindak pidana perbankan bersama mantan Kepala Cabang Bank Century Senayan Linda Wangsadinata, mantan Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim, dan mantan Pemilik Bank Century, Robert Tantular.
Gadis belia berusia 19 tahun tersebut dalam blognya, www.alandakariza.com, mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas vonis tersebut. Dalam blog tersebut dia mempertanyakan tentang ketidakadilan yang dialami oleh ibunya. Jika Gayus saja hanya divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Robert Tantular dituntut hukuman selama 8 tahun dan Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara selama 6 tahun dari PN Jakarta Pusat. Lantas kenapa Arga-panggilan Ibunya divonis 10 tahun?
Alanda tidak pernah menyangka jika tulisan yang dia muat di blog pribadinya tersebut menuai banyak simpati dari berbagai kalangan. Bahkan, hashtag #helpAlanda pada situs microblogging Twitter tampak mendominasi timeline. Ajakan menolong Alanda dan ibunya “dikicaukan” banyak tokoh, termasuk oleh Todung Mulya Lubis.
Melihat fenomena tersebut, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo mengatakan bahwa saat ini orang semakin banyak mencari dukungan lewat media sosialkarena sudah tidak percaya lagi kepada sistem. Peran media sosial sebagai kontrol publik akan semakin menjadi tren ke depannya, termasuk menembus asimetri informasi dalam penegakan hukum. Media sosial menjadi sarana munculnya kearifan khalayak yang mampu memecahkan masalah atau membuat keputusan lebih baik daripada yang mampu dihasilkan oleh segelintir elit.
Terkait kasus ini, bisa jadi akan berimbas menjadi besar seperti kasus Prita beberapa waktu yang lalu. Memang, peran media seperti ini sangat bagus karena bisa memberikan perimbangan. Penegak hukum bisa menjadi lebih bertanggung jawab memberikan penjelasan jika ada pengawasan dari publik. Namun, di sisi lain, adanya reaksi semacam ini semakin membuktikan bahwa uang dan politik yang ada di negeri ini jelas – jelas telah menghancurkan bayangan tentang supremasi hukum, dimana setiap pribadi di negeri ini menjunjung tinggi hukum dan mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Mungkin, selamanya pilar-pilar hukum hanya akan mempermasalahkan kredit-kredit macet, menjebloskan orang-orang ‘kecil’ ke penjara tanpa bukti dan analisa yang komprehensif maupun putusan yang masuk akal, bukan 6,7 T yang entah ada di mana saat ini. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat para pemuda semakin pesimis berkarya untuk Indonesia. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat individu-individu brilian lebih memilih untuk tinggal dan berkarya bagi negara lain, agar keluarga mereka tetap utuh. Supaya mereka tidak mengalami ketidakadilan yang menjijikkan seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H