Sepak bola adalah olah raga yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia. Tetapi  sepak bola di Indonesia belum bisa berbicara banyak di kancah level dunia, bahkan di level Asia Tenggara pun Timnas Indonesia masih terseok-seok. Ini dibuktikan dengan belum pernahnya Indonesia menjadi juara di AFF Cup. Apalagi baru-baru ini Timnas senior asuhan Alfred Riedl dikalahkan oleh Filipina dengan skor telak 4-0, yang notabenenya pada saat sebelum sebagian besar timnya dihuni oleh pemain naturalisasi selalu menjadi bulan-bulanan Timnas Indonesia. Ini pula sekaligus menorehkan rekor buruk dengan kekalahan terbesar Timnas senior sepanjang gelaran piala AFF.
Menyoroti kegagalan Timnas sebagai buntut dari akibat kisruhnya di tubuh federasi pesepak bolaan tanah air. PSSI yang merupakan federasi sepak bola resmi tertinggi yang mengurusi segala macam urusan sepakbola di negara kita, saat ini sudah tidak lagi mempunyai kharisma sebagai pengayom sepak bola Indonesia. Tidak tegas, mengutamakan kepentingan golongan, tidak becus, pilih kasih dll. Faktor eksternal yang memperkeruh kondisi persepakbolaan kita. Sebagai contoh, sepak bola sering disisipi oleh unsur-unsur politik. Tentu hal ini benar adanya, sebab masih ada anggota parpol atau orang berlatar belakang politik yang menduduki jabatan penting di kepengurusan PSSI, baik di pusat, maupun di tingkat daerah. Bahkan, ada pula yang menjadikan PSSI sebagai kendaraan politik. Belum lagi mafia-mafia yang ikut mencampuri persepak bolaan di Liga Indonesia. Tentunya PSSI harus berbenah diri dan melakukan terobosan-terobosan seperti.
Pembinaan Pemain Usia Muda
Pembinaan pemain usia muda tentu harus menjadi prioritas utama untuk membentuk Timnas terbaik kelak. Sebagai halnya Jepang yang dimulai dari tim nasional kelompok umur. Federasi Sepak bola Jepang (JFA) memiliki sistem pembinaan untuk beberapa kelompok umur, seperti U-10, U-13, U-14, dan U-16. Para anak akan dididik dan dipersiapkan untuk mencapai level lebih tinggi di timnas senior. Para pemain muda ini dilatih untuk memiliki teknik bermain yang baik dan berlatih setiap hari. Selain itu JFA juga membuat sistem kompetisi yang selalu mengadakan pertandinagn setiap minggu, untuk semua kelompok kategori umur. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki jam terbang yang banyak, seperti yang juga dilakukan di Eropa. Sehingga sepak bola profesional di sana sudah benar-benar matang baik segi fisik, teknik maupun mental karena sudah terasah sejak muda. Untuk sistem timnas, ada dua kategori. Tim sepakbola pelajar dan satu lagi tim yang berasal dari klub. JFA membuat banyak pertandingan yang memungkinkan kedua timnas ini saling bertemu.
Pemandu Bakat (Scouting)
Indonesia terkenal memiliki pemain sepak bola yang berpotensi. Sebenarnya sangat banyak pemain asli Indonesia maupun pemain keturunan Indonesia yang bermain di luar negeri. Sayangnya, bakat-bakat itu belum terjamah oleh PSSI. Metode inilah yang digunakan mantan pelatih timnas U-19 Indra Sjafri untuk menjaring bakat-bakat muda dari seluruh Indonesia sehingga mendapatkan pemain-pemain terbaik tanah air, hingga menorehkan prestasi yaitu menjuarai piala AFF U-19 pada tahun lalu. Metode  yang dimaksud adalah blusukan atau turun langsung ke lapangan.  Sekilas, cara ini mirip dengan cara yang kerap dijalankan oleh para pemandu bakat (scouting) dari klub-klub elite Eropa.  Berbeda dengan di Indonesia, di Eropa dan Jepang talent scout dimiliki oleh setiap klub dan akademi kelompok umur.
Sistem Liga & Finansial Klub
Untuk membentuk pemain-pemain timnas yang terbaik tentulah kompetisinya harus terstruktur dan tersistem dengan baik. Sistem liga di Indonesia masih dikatakan belum terstruktur dengan baik. Ini terbukti pada saat ISL (Indonesia Super League) yang digelar pada musim lalu, dimana klub menggelar dua pertandingan dalam kurun waktu satu minggu. Belum lagi banyaknya jeda kompetisi. Masalah finansial pun menjadi masalah klasik bagi klub-klub Indonesia. Di awal musim mengontrak pemain hingga milyaran rupiah kemudian selang beberapa bulan menunggak gaji pemain. Bukanlah hal yang asing di persepakbolaan di negeri kita, sampai pemain asing pun meninggal karena sakit karena gajinya belum dibayar pun ada. Berbeda dengan Liga Indonesia, di Liga Inggris menganut ekonomi terbuka itu. Â Di sana, klub diatur dengan ketat tanpa kesan dikekang. Â Sebelum mengikuti kompetisi semusim penuh, klub harus mampu menunjukkan kemampuan finansial mereka. Bahkan calon pemilik dan direktur klub harus menjalani uji kepatutan dan kelayakan lebih dulu. Di EPL (English Premier League), klub harus menyerahkan laporan keuangan setiap 1 Maret per musim. Â Penyusunan laporan keuangan pun harus mengikuti standar yang ditentukan oleh EPL dan dievaluasi oleh tiga auditor berbeda (EPL-klub-independen). Dari laporan itu EPL bisa mengetahui klub mana yang layak ikut liga musim mendatang atau tidak. Di era Financial Fair Play (FPP) ini, EPL juga bisa memberi rekomendasi atau peringatan kepada klub dalam hal pengeluaran operasional untuk gaji atau belanja pemain.
Tentunya masih ada secerca harapan untuk kebangkitan timnas kita. Dan tentunya juga semua pihak harus bekerja sama untuk memajukan sepakbola, dan bila tidak, Timnas Indonesia tidak akan mencapai banyak kemajuan. Salam Olahraga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H