Mohon tunggu...
azas tigor nainggolan
azas tigor nainggolan Mohon Tunggu... Advokat dan Analis Kebijakan Transportasi

Aktivis Perkotaan yang Advokat dan Analis Kebijakan Transportasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyimak THR Untuk Ojek Online.

11 Maret 2025   23:33 Diperbarui: 12 Maret 2025   06:14 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyimak THR Untuk Ojek Online.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI akhirnya sore tadi (11 Maret 2025) mengeluarkan Surat Edaran (SE)
MENTERI KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR M/3/HK.04.O0/III/2025
TENTANG PEMBERIAN BONUS HARI RAYA KEAGAMAAN TAHUN 2025 BAGI PENGEMUDI DAN KURIR PADA LAYANAN ANGKUTAN BERBASIS APLIKASI. Surat Edaran ini dikeluarkan oleh Menaker untuk menjawab tuntutan para pengemudi Ojol beberapa waktu lalu mengenai pemberian THR oleh perusahaan aplikasi(aplikator). Dalam SE ini Menaker menghimbau kepada para perusahaan aplikasi (aplikator) memberikan bonus hari raya keagamaan 2025 sebagai wujud kepedulian dan nilai-nilai Pancasila kepada para pengemudi dan kurir online. Melihat isi SE ini hanya menghimbau dan berubah dari Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi Bonus Hari Raya (BHR). Berarti pemerintah dalam hal ini sadar betul bahwa tidak bisa memaksa tetapi hanya menghimbau para aplikator memberikan BHR. Pemerintah sadar betul tidak bisa memaksa memberikan THR tetapi BHR karena hubungan antara aplikator dan pengemudi Ojol adalah sebagai  MITRA.

Syukurlah pemerintah sadar betul posisi hukum dalam masalah pemberian THR ada masalah hukumnya.  Pembuatan SE ini belum untuk menyelesaikan masalah. BHR ini solusi kemanusiaan jangka pendek, sebagai wujud kepedulian sesuai nilai-nilai Pancasila. Tahap berikutnya pemerintah harus melakukan langkah   menyelesaikan masalah tanpa masalah yakni langkah pengakuan hukum terhadap bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia.  Perubahan nama THR ke BHR saja sudah cukup bukti bahwa sadar bahwa ojek online harus diakui dalam Undang-undang (UU) bidang transportasi di Indonesia. UU bidang transportasi No:22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) tidak mengakui ojek online sebagai alat transportasi umum.Pengusaha aplikasi atau aplikator juga tidak mengakui dirinya sebagai perusahaan angkutan umum tetapi sebagai perusahaan penyedia layanan aplikasi dan bisnis aplikator seperti ini pun belum diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Posisi belum diaturnya bisnis aplikator secara hukum  ini pula juga membuat pemerintah tidak bisa mewajibkan atau tegas kepada para aplikator yang membangun bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia. Tidak adanya regulasi hukum bisnis aplikasi atau bisnis e-commerce ini membuat pemerintah tidak bisa tegas berhadap-hadapan dengan para aplikator. Jadinya ya seperti seperti sekarang ini, SE Menaker hanya menghimbau memberikan BHR karena para pengemudi ojek online  statusnya hanya MITRAnya aplikator.Ada masalah juga dalam penerbitan Surat Edaran (SE) Menaker  NOMOR M/3/HK.04.O0/III/2025 ini. Masalahnya adalah pertama Menaker menggunakan SE karena SE ini sifatnya hanya berlaku internal instansi yang mengeluarkan dan SE bukan regulasi hukum.  Masalah kedua adalah SW Menaker ini mengatur kepada Pengusaha aplikasi. Surat Edaran adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat atau lembaga untuk memberikan informasi, instruksi, atau kebijakan kepada pihak lain. Ruang lingkup berlakunya surat edaran dapat berbeda-beda tergantung pada jenis surat edaran dan tujuan penerbitannya. Secara umum berlakunya sebuah SE salah satu ruang lingkup berlakunya mencakup instansi atau lembaga yang mengeluarkan atau menerbitkannya. Mengapa SE Menaker NOMOR M/3/HK.04.00/III/2025 kok ditujukan kepada para pengusaha aplikasi untuk memberikan BHR kepada pengemudi dan kurir online?

Begitu pula SE itu bukan regulasi hukum karena tidak masuk dalam hirarki perundangan di Indonesia. Pengaturan hirarki perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan hukum dasar tertinggi di Indonesia dan menjadi landasan bagi semua peraturan perundang-undangan.
2. Undang-Undang (UU) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan Presiden.
3. Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden.
4. Peraturan Presiden (Perpres) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada.
5. Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah untuk mengatur urusan pemerintahan daerah.

6. Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwal) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh bupati/walikota untuk mengatur urusan pemerintahan kabupaten/kota.

7. Peraturan Desa (Perdes) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah desa untuk mengatur urusan pemerintahan desa.


Jelas bahwa Surat Edaran (SE) bukanlah regulasi hukum dan tidak ada dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia. Jadi SE Menaker ini untuk melaksanakan regulasi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mana? Pada prinsipnya juga bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau di bawahnya. Begitu pula peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Usul saya sebaiknya Surat Edaran Menaker NOMOR M/3/HK.04.O0/III/2025 dicabut saja agar tidak menimbulkan kekacauan hukum dan merusak wibawa pemerintah. Carut marut ini bukan masalah  THR tapi tidak adanya kepastian hukum dalam bisnis ojek online. Pemerintah sebagai regulator  harusnya yang bertanggung jawab sebagai  membuat regulasi hukum untuk melindungi rakyat, dalam hal ini para pengemudi ojek online dan kurir online.

Jakarta, 11 Maret 2025.
Azas Tigor Nainggolan.
Advokat di Jakarta dan Analis Kebijakan Transportasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun