Saya baru menikah selama lima belas hari dan delapan belas jam. Dan ternyata, pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya 'kapan' masih saja merajalela. Seperti halnya kita tidak bisa memisahkan hembusan udara dari angin, pasangan yang baru menikah pun ternyata tidak bisa melepaskan diri dari pertanyaan yang menggunakan kata tanya favorit tersebut, "kapan rencananya punya dedek?"
Yah, mungkin memang pernah ada orang yang hamil dan melahirkan hanya dalam waktu satu malam.
Dan dalam kasus kami, yang memutuskan untuk sama-sama hidup menderita sebagai mahasiswa di negeri antah berantah yang kami nggak ngerti bahasanya, pertanyaan itu dibumbui dengan 'tuntutan', "Wah enak ya, ntar punya anak di luar negeri!"
Maaf, ada yang bisa menjelaskan, enaknya di sebelah mana?
Bagi saya, pertanyaan "kapan nikah" itu meskipun kata orang "sakitnya di sini nihh" tapi masih terdengar wajar. Wajar karena jalan keluar bagi dua orang yang saling mencintai, mengasihi, mengagumi dan menaruh rasa hormat tidak lain dan tidak bukan adalah ya memang pernikahan. Tapi kalau sudah nanya-nanya masalah anak, nggak tahu ya apa cuma saya saja yang ngerasa, kok kedengarannya kurang sopan. Saya kalau ditanya begitu berasa ditanya apakah tadi malam saya udah sempat 'bikin dedek' atau belum sama mas bojo.
See? Itu urusan ranjang broh.
Dan anehnya, orang-orang yang 'nagih' supaya saya cepet-cepet "mbrojol" itu adalah mereka yang bahkan belum menikah. Bisa dimaklumi mungkin mereka masih belum ada gambaran tentang beratnya tugas menjadi orangtua. Bahwa ketika kita punya dedek, yang harus dipikirkan adalah bagaimana mengasuh dan mendidik. Menyayangi dan membesarkan. Popok, pampers, ASI dan imunisasi. Bukan cuma sekedar keren karena di akte kelahiran tertulis 'Taipei' dan bukan 'Sleman' (by the way saya lebih senang malah kalau di akte kelahiran anak saya tertulis 'Raja Ampat', kan tiket kesananya lebih mahal daripada ke luar negeri, hehehe...).
Jujur saya sedih. Sedih karena melihat banyak sekali pihak yang memberi rongrongan yang kurang mendidik. "Buruan nikah!" "Buruan punya anak!" Masih mending kalau mendoakan. Lha ini cuma nyuruh-nyuruh doang.
Pernikahan itu katanya menggenapkan separuh agama. Gede kan pahalanya? Iya gede. Tanggungjawabnya? Gede juga. Buat yang cowok bakalan harus lebih rajin kerja nggak? Harus. Buat yang cewek bakalan harus lebih rajin ngurus rumah nggak? Pasti. Berat nggak? Iya berat.
Milih pasangan sekali seumur hidup kan? Iya. Boleh cerai nggak kalau bosen? Boleh aja tapi DIBENCI Allah.
Jadi, nikah itu gampang nggak? Gampang gampang nggak. Gampang karena jodohnya udah digariskan, nggak gampang karena harus nyari; nggak ada kan yang ada tulisan di jidat "saya jodoh kamu loh".
Jadi, diubah ya kata-katanya. Jangan cuma nagih kapan dan kapan. Bilang saja, "kalau sudah siap ya sana nikah, tapi kalau belum siap, sana puasa dulu aja gih..."
Mau tahu gimana rasanya nikah? Nih saya kasih tahu: capek. Capek karena kerjaannya nambah dan capek karena 'yang lain-lain'. Hahaha.
So, teman-teman yang sering saya pinjam bahunya untuk bersandar.....jangan kemakan omongan orang yah. Yang katanya nikah itu 30% enak, 70% enak banget. Karena hidup itu realistis. Ini masih belum ngomongin soal materi. Kita nggak akan dengan serta merta menemukan kebahagiaan dalam pernikahan. Karena pernikahan itu bukan kotak yang isinya penuh kebahagiaan. Pernikahan itu ibarat kotak kosong....terserah kamu mau isi apa di dalamnya.
Dan, ketika kamu menghadiri kondangan, nggak usah kuatir kalah cantik sama mantennya. Pake baju bagus, dandan cantik, tegakkan dagu, jalanlah ke pelaminan dengan penuh percaya diri. Jangan lupa senyum....
Yang namanya wanita sukses itu bersinar dimana saja dia berdiri.
Dan ketika melihat pesonamu, dijamin, orang akan tertarik untuk bertanya lebih dari sekedar "kapan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H