Dinamika menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar serentak tahun depan, 2018, sudah semakin terasa. Terutama di Ciamis. Pilkada Ciamis diprediksi bakal lebih "panas" dibanding daerah lain. Sebut saja misalnya Pilkada Garut atau Pilkada Kota Banjar, yang notabene daerah tetangga Kabupaten Ciamis.
Salah satu faktor yang menyebabkan Pilkada Ciamis lebih panas adalah karena fenomena petahana vs petahana. Pada Pilkada Ciamis 2018, petahana bakal kembali manggung. Tak tanggung-tanggung, tiga petahana dipastikan turut bertarung. Mereka adalah bupati, wakil bupati dan mantan sekretaris daerah yang baru beberapa hari lalu diganti. Belum lagi Ketua DPRD Kabupaten Ciamis, yang masih memiliki kemungkinan untuk turut sebagai kontestan.
Pengertian petahana memang masih belum jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah petahana bahkan belum dikenal. Namun penggunaannya sudah populis, terutama oleh para kuli tinta di berbagai media massa.
Jika pengertihan petahana hanya diartikan sebagai kepala daerah yang sedang menjabat, maka yang disebut petahana di Pilkada Ciamis tentunya hanya Iing Syam Arifin. Namun, saat kata petahana difahami lebih dalam, maka bisa dipastikan Pilkada Ciamis bakal jadi ajang petahana vs petahana. Ini terjadi ketika petahana dimaknai sebagai pejabat yang memiliki otoritas yang besar. Dalam makna ini, wakil bupati dan sekretaris daerah sudah barang tentu termasuk ke dalam kategori petahana.
Apalagi ketika sekretaris daerah begitu leluasa bergerak di ranah politis. Dan ini terjadi dalam rentang waktu yang lama. Herdiat sebagai sekretaris daerah yang berkeinginan maju pada Pilkada Ciamis 2018, sudah begitu masif bergerak sejak satu tahun lalu. Ada beberapa contoh di daerah lain, ketika sekretaris daerahnya bergerak, langsung ditegur bahkan diberhentikan. Ciamis memang berbeda.
Tulisan ini tidak ingin terfokus pada urusan etika yang dilanggar gara-gara para pejabatnya leluasa bermain-main di ranah politik. Paparan di atas hanya menguatkan asumsi, bahwa Pilkada Ciamis akan lebih panas dibanding daerah lain, karena yang bertarung petahana vs petahana. Yang bertarung adalah para pejabat yang memang memiliki otoritas yang luas. Maka tak berlebihan kiranya, ketika ada sebagian pihak merasakan, di Ciamis saat ini ada dua atau tiga matahari.
Tentunya, pilkada yang akan digelar tahun depan tidak boleh tercerabut dari esensinya. Yang pada hakikatnya, pilkada merupakan pengejawantahan nilai demokrasi di masa otonomi daerah. Ketika petahana vs petahana terjadi, idealnya ada pihak lain yang berkenan berada di posisi netral. Terlebih jika perhelatan politik itu digelar secara head to head, hanya dua pasangan calon yang melenggang. Bahaya, karena beberapa kali pengalaman mengajarkan, ketika head to head terjadi, potensi konflik jauh lebih besar dan terbuka. Jangankan nanti, sekarang saja suhu politik di Kabupaten Ciamis sudah semakin memanas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H