"Mar, kamu pernah nonton film Manusia Bumi, ndak?" tanya Pono, pacarnya, suatu hari.Â
Maryam terdiam beberapa saat. Tak ada angin tak ada hujan, untuk apa pula  Pono menanyakan hal itu. Ia pun termenung-menung. Rasanya ia pernah menontonnya, tapi...
"Cari! Cari! Jangan bengang-bengong!"
Seorang pria bersetelan rapih membentak, selepas keluar dari sebuah ruangan. Ia berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk pekerja-pekerjanya.Â
Semua pekerja yang tadi sedang duduk-duduk santai, beberapa ada yang menonton, tertidur di meja-meja kosong, lainnya ada yang bersenda gurau, bermain sosial media, bermain kartu, Â semuanya itu diperintahkannya segera bergerak.Â
Mereka diperintahkan mencari-cari sebuah berkas. Pekerja-pekerja mulai sibuk berlarian, kocar-kacir, mencari. Mereka mencari dalam loker-loker, dalam rak-rak, dalam brankas-brankas, dalam gudang-gudang, dicarinya berkas beberapa penggal ingatan, apa saja yang berhubungan dengan  film Manusia Bumi itu.Â
Pernahkah nyonya besar mereka itu menontonnya? Di mana? Kapan? Mereka terus diburu waktu. Semua data harus segera siap dalam jutaan mikrodetik.Â
Pria bersetelan rapih terus membentak dan menunjuk, terlalu lama menanti, diambilnya sebuah senapan laras panjang dari dalam lemari di ruangan kerjanya, lalu keluar dan mulai menembak-nembak sesuka hati.Â
Riuh semakin jadi. Ia tertawa-tawa sementara pekerja-pekerjanya mulai kacau. Semua ketakutan. Atasannya mulai menggila. Saking kacaunya bertebaranlah semua berkas-berkas itu.Â
Lembaran-lembarannya berantakan, Â bercampur aduk. Semua ruangan dipenuhi berkas-berkas yang bertebaran. Semuanya bercampur-campur di lantai-lantai, di lorong-lorong, di mana-mana.Â