Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Seorang bapak yang mengumpulkan kenangan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tua Bangka Penjudi

15 Januari 2021   14:20 Diperbarui: 15 Januari 2021   14:24 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tua bangka itu masih saja terjaga, berjudi di meja, biar erangan orang-orang penuh birahi pagi buta memanggil-manggilnya. Tiada peduli, ia menolak diri, tak ada guna menyerah pada ajakan mereka. Biar mereka mengerang lima waktu, atau sepuluh waktu sehari, ia tak peduli.

Meja itu adalah tempat ia bertaruh sepanjang hidupnya. Biar kalah menang, biar siang malam, ia  enggan untuk menyerah. Matanya tetap berbinar. Melihat kartu-kartu dibuka, melihat uang-uang ditarik atau dibagi, melihat orang-orang gembira atau berduka. Ia tetap di sana. Sepanjang usianya. Tak lelah meski kata orang ia telah renta.

Baru saja didengarnya orang-orang kampung ramai bicara tentang anak muda gagah perkasa yang dipaksa malam memejamkan mata. Demi mendengar satu persatu kabar orang silih berganti dipeluk malam, juga kabar orang-orang di kampung sebrang diamuk tanah yang bergoncang, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit meja tempat berjudi itu ditinggalkan orang-orang. Tapi tua bangka itu tetap di sana. Ia bergeming dalam hening yang menyelimutinya. Ia sibukkan diri dengan hingar bingar teriakan kemenangan, atau tangisan kekalahan, ia terus dan terus saja membuka kartu, berharap ia bisa menang telak dan membawa pulang semua uang, kalau perlu sang bandar bangkrut. Ia tak mengingat bahwa dirinya telah tua bangka penuh keriput.

"Aku belum binasa. Aku masih kuasa!"

Ia telah bermimpi dari semasa muda, dan ia tak akan binasa hingga mimpi itu digapainya. Dan begitulah, tak sadar puluhan tahun dihabiskannya berjudi di meja, mencari peruntungan. Meski kebanyakan kawan seusianya satu per satu pergi menjauh dari meja berisi mimpi-mimpi kosong itu, melupakannya, pergi memenuhi ajakan orang-orang penuh birahi. Tapi ia tak peduli. Ia yakin bahwa dirinya masih kuasa untuk memenangkan segalanya.

Semua telah ia pertaruhkan ;  masa mudanya, baju dan celananya, kulit bersihnya, elok rupanya, rambut hitamnya, sawah ladangnya, istri dan anak cucunya, jadi, tak ada jalan untuk berhenti. Hanya tinggal satu yang belum dipertaruhkannya, ialah, bangkainya sendiri.

Cipayung, 15 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun