Buih-buih itu terlihat meski dalam kegelapan malam. Perlahan menghilang begitu saja dalam matanya. Gemuruh memanggil-manggil jiwanya. Mencoba memecahkan segalanya. Namun nyatanya gemuruh tak merubah apa-apa. Rupa-rupanya di dalam dadanya kini ada batu karang yang begitu keras menahan gelombang. Samudera begitu luas, di dalam jiwanya, gelombangnya mengamuk dan terus mendera, sementara batu karang itu tetap di sana, membatu, bisu, tak berbuat apa-apa.
Di tepi pantai itu, suatu malam, Pono mengenang kembali deburan ombak yang kini telah hilang ketika ia dan sang kawan dulu duduk bersama memandanginya, diingatnya kembali keduanya berteriak hingga serak, sampai pagi, melantunkan puisi-puisi tak berarti. Bererita tentang kecantikannya, kemolekannya, keindahannya, sementara tak pernah sekalipun mereka mau mengarunginya.
berdua.
Ketika semua kenangan itu ditelan keheningan malam yang begitu pekat memisahkan ia dan sang kawan, pagi datang membuka hari baru, yang cerah tanpa awan gelap.
Paling tidak, bukan dirinya yang dibuat sang kawan menangisi esok lusa.
dan bukan dirinya yang meminta pergi kemarin itu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H