Lepas pulang kerja, Pono melihat melati berwarna keemasan tumbuh di tanah kosong di dekat rumahnya. Tanah tandus berpasir yang tak punya daya subur. Keheranan ia mengapa bisa tumbuh bunga serupa begitu indah. Mengapa bisa? Kalau kaktus mungkin, tapi ini bunga melati! Sebelumnya ia tak pernah menyadarinya. Padahal ia sering melewati jalanan ini, Dan tidak ada tanah kosong tandus dan berpasir di sini. Ia ingat betul kok. Kenapa tiba-tiba berbeda?
Di teras rumahnya sendiri ada bunga bergantung-gantung, berwarna-warni, tanaman beraneka rupa menghijau sepanjang mata memandang, namun tak seindah yang satu itu. Kembangnya bersinar-sinar memantulkan cahaya matari yang hampir tenggelam di ufuk barat. Menggoda matanya mendekat, Â menyilapkan. Warnanya merona, keemasan, mengkilap, bersinar-sinar. Melati yang aneh. Â Ingin rasanya mengambil untuknya sendiri. Akan tetapi, bagaimana kalau setelah dipetik nanti malah mati?
Melati yang berwarna keemasan tumbuh di tanah kosong. Bagaimana bisa? Ia tumbuh di tanah tandus berpasir yang tak punya daya subur. Kemanapun dan kapanpun selalu Pono jadi terbayang. Melati itu sungguh menggoda, Bahkan saat numpang mandi di sumur tetangga. Keemasan kilau itu!
Keemasan kilau yang menggodanya dan terus menggodanya.
Setiap melewati tempat tandus itu sepulang kerja, Pono singgah ke sana, hanya sekedar untuk memandanginya berlama-lama. Â Menikmati cahaya matahari yang terpantul cantik sebelum terbenam di ufuk barat. Ia sering berkeluh kesah pada bunga melati itu, tentang apa saja, tentang sepanjang hari itu, Â tentang tanggal tua, tentang bos yang menyebalkan, tentang temannya yang susah ditagih hutang, tentang belum makan dari siang, tentang kesendiriannya, tentang badannya yang semakin kurus, tentang gatal di rambut gondrongnya, tentang macam-macam.
Melati itu selalu tampak tersenyum dan cantik. Ia teman yang baik. Tidak bertanya apa-apa, tidak bilang untuk sabar dan menerima segala cobaan hidupnya. Tidak berbalik menasehati atau malah meminjam lembaran kertas berharga di sakunya yang semakin menipis, Â hanya mendengarkan dan mendengarkan.
Tapi hari itu, berbeda, Melati berwarna keemasan itu malah banyak bicara, gantian bercerita. Pono keheranan kenapa Melati ini jadi begini? Saat kemudian ia beranjak meninggalkan tanah kosong tandus berpasir  itu, ia sedang berada pada sebuah kamar apartemen. Kaget. Ia melihat sekeliling. Terbelalak melihat Maryam duduk di tepi ranjang.
"Mau kemana? Aku belum selesai bercerita."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H