"Mantu ndak guna kamu, Kol!"
"Seminggu ini? Kol! kamu ndak dapat manusia barang seorang?"
Tongkol diam. Tak perduli Kang Tunakarya, mertuanya itu ngedumel ndak karuan. Seluruh warga Segararejo juga tau, bahwa mertuanya itu berwatak keras dari muda.Â
Mertuanya yang pemarah itu membanting-banting barang. Mau dilawan bagaimana lha wong sudah tua. sudah dianggapnya sebagai orangtua sendiri. Ia memilih pergi ke teras karang dan memanfaatkan waktu memperbaiki jala yang agak koyak-koyak sedikit. Daripada bengong.
Tongkol sadar diri. Wajahnya tambah memelas. Sambil memperhatikan jalanya, ia ingat Tunawati, istrinya yang cuma ibu rumah tangga biasa.
Tunawati kadang membantu jualan sayur di pasar, hasilnya ya ndak seberapa ingat anaknya Tukol, yang masih harus bayaran sekolah. Uang tabungan tinggal puluhan ribu.Â
Menyesal, jadi Ikan yang goblok waktu dulu di bangku sekolah dasar. Sudah begitu, orangtuanya tidak mampu, akhirnya ia putus sekolah. Â
Jadilah dia nelayan yang harus ikut mendarat bersama Pakde Kakap yang memiliki motor kecil yang sudi membantunya untuk mendapatkan nafkah. Itu juga harus mbayar sewanya.
Bagaimana bisa dapat manusia? Lha wong belakangan bahan bakar untuk mendarat saja sudah sebegitu langka. Antrian panjang beratus-ratus kilometer.Â
Tongkol membayangkan menginap berhari-hari demi jatah beberapa puluh liter bahan bakar, sungguh jemu.Â
Kelangkaan bahan bakar minyak yang terjadi Kabupaten Segararejo beberapa waktu ini memang tentu berdampak pada aktivitas nelayan mencari manusia di darat. Seminggu ini! Gila. Mendarat sudah semakin susah sekarang.Â