Curhatan Seorang Tukang CilokÂ
Perkenalkan saudara-saudara, panggil saja saya Kang Cilok. Umur saya kalau boleh Tuhan berkehendak genap 26 Tahun tanggal 25 nanti.Â
Sehari-hari saya berprofesi sebagai tukang cilok keliling dari sekolah dasar ke sekolah dasar lain selain untuk menyambung hidup, juga untuk bayar kuliah di sebuah Universitas Swasta di daerah Tangerang yang memang kurang baik secara akreditasi. Hanya saja, memang murah dan terjangkau karena memang latar belakang saya pribadi dari golongan yang kurang mampu.Â
Pertama-tama saya mohon maaf bila banyak salah dan kurang dari tulisan saya ini entah dari ejaan atau apa karena memang saya hanya sekedar mencurahkan isi hati saya dalam bentuk tulisan. Saya hanya sekedar membagi cerita kegelisahan saya selama di kampus tempat saya katanya menimba ilmu itupun kalo benar ada ilmu yang saya dapat.Â
Awalnya, saya membulatkan tekad dan semangat untuk melanjutkan pendidikan kembali setelah tujuh tahun lulus dari sebuah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Pusat Jakarta karena memang dahulu saya ingin sekali melanjutkan pendidikan langsung begitu lulus sekolah, namun nyatanya kondisi yang tidak memungkinkan.Â
Bahkan untuk lulus dari Sekolah Menenangah, orang tua saya harus merelakan beberapa meter tanah warisan terjual hanya untuk melunasi SPP untuk mengambil Ijazah. Karena itulah saya tidak memaksakan diri untuk melanjutkan pendidikan lepas lulus SMK.Â
Setelah beberapa kali gonta-ganti pekerjaan dan sekarang saya punya penghasilan sendiri, dari situlah saya kemudian memutuskan meneruskan ke Perguruan Tinggi.
Awal-awal masuk Universitas Swasta tersebut saya sangat bersemangat dan bahkan tidak menggubris banyak orang dekat bahkan adik dari ibu saya sendiri yang justru meremehkan dan berkata bahwa kuliah hanya buang-buang uang dan tidak berguna.Â
Apalagi jurusan yang saya ambil sama sekali tidak menjanjikan menurut kacamata banyak orang, yaitu Sastra Indonesia. Segala cemoohan itu saya tidak perdulikan dan tetap lanjut sampai akhirnya sekarang tidak terasa saya sudah menginjak semester lima.Â
Jujur, beberapa tahun belakangan ini saya merasa habiskan dengan sangat amat sia-sia. Saya mulai mencoba bertanya-tanya, "Apa benar kata orang-orang itu?"Â
Semenjak Semester pertama, saya tidak pernah merasakan hangatnya diskusi-diskusi di kelas kami, ataupun di banyak tempat yang ada hanya pertanyaan-pertanyaan kosong untuk sekedar dapat poin dan nilai ketika presentasi setiap mata kuliah dari mahasiswa-mahasiswa yang bahkan tidak perduli sama sekali dengan bidang yang digelutinya.Â