Mohon tunggu...
ude
ude Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

With my blue sandal

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mereka dan Aku: Pikiran Anak Kelas 3 SD

4 Oktober 2014   04:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:27 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melihat mereka, tiga kakak beradik itu berjalan pelan didepanku, dibawah rindangnya pohon-pohon sengon. Ridwan yang tertua sekarang kelas 1 SD. Lebih muda dari aku, adik tingkatku. Dua adiknya yang lain belum sekolah, masih kecil-kecil. Tapi mereka ikut ke  sekolah. Ridwan yang menjaga mereka, ibunya kerja. Kerja di perkebunan sawit, mungkin bareng dengan bapak. Ridwan dan adik-adiknya itu disebut yatim, karena tidak punya bapak. Dulu sekali ibu pernah bilang, aku tahu Bapak Ridwan meninggal karena sakit. Sakitnya parah, karena puskesmas tidak bisa mengobati. Harus dibawa ke rumah sakit, rumah sakit itu apakah? saat itu aku tidak tahu. Tapi bapak Ridwan meninggal disana. Di rumah sakit. Mayatnya dikirim ke jawa, tempat keluarga besarnya berada. Bukan disini.

Perkampungan kami kecil ditengah hutan, isinya orang-orang perantauan semua. Jauhhhhh di pedalaman Kalimantan. Jauuh sekali karena disini tidak ada orang jual es krim. Kalau mau beli es krim harus ke kota, kota juga jauh sekali karena harus lewat sungai dan naik kapal. Kemudian aku ingat, ibu pernah bilang memberi anak yatim itu pahalanya besar. Aku berpikir sambil berjalan melintas jalan setapak sepulang sekolah. Aku kelas 3 SD saat itu, bahkan adik kecilku belum lahir. Ada uang 300 rupiah di kantongku, entah bagaimana caranya aku mendapat uang itu aku lupa, mungkin ibu memberiku pagi tadi. Ah, bahkan aku jarang diberi uang saku semenjak kelas 1. Tapi bukankah memberi anak yatim itu banyak pahalanya? pikiran itu kembali melintas. Lalu aku berjalan cepat-cepat mendekati mereka, mengenggam uang 300 rupiah itu erat-erat. Sempat terpikir bahwa aku bisa jajan dengan uangku. Bubur satu gelas kan masih 200 rupiah.

Aku diam saja didepan mereka. Aku malu. Aku kan belum pernah memberi langsung seperti ini, jadi aku cuma mengulurkan tangan saja sementara uang 300 rupiah itu tidak terlihat di genggamanku. “Ini untuk kalian” aku bersuara, karena mereka terlihat bingung tak mengerti. “Buat jajan” aku melanjutkan. Kemudian salah satu adik Ridwan yang menerima. Ah, aku belum kenal namanya. “Terima kasih, Kak”

Tapi aku sudah ngacir. Berlari-lari kecil sampai jauh. Aku malu.

Waktu sampai rumah, ada ibu didapur. Uhh, senangnya

Notes:

Ridwan (alm) meninggal saat baru masuk SMP, hari ketiga sekolah. Saat masih MOS. Saya kelas 3 SMP saat itu. Ingat sekali, hari pertama teman saya yang tidak tahu beliau sakit marah-marah (karena Ridwan cowok dan lemah sekali- padahal sedang sakit, besoknya beliau tidak masuk sekolah dan dipanggil penciptanya hari berikutnya, rabu pagi). Setelah anak sulung yang jadi kepala keluarga itu pergi keluarga kecil itu pindah ke jawa. Saya tidak tahu lagi kabarnya, semoga mereka baik-baik sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun