Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang pesat disertai peningkatan angka harapan hidup, data jumlah penderita kebutaan diestimasikan akan meningkat sejumlah dua kali lipat pada tahun 2020 dibanding tahun 1990 -- di mana sebagian besar angka ini didominasi oleh penduduk negara berkembang.Â
Permasalahan ini dapat ditanggulangi dengan menyusuri riwayat perjalanan penyakit yang menjadi penyebab-penyebab masalah gangguan penglihatan. Faktanya, sekitar 75% kasus ini sebenarnya disebabkan oleh suatu kondisi yang dapat dicegah dan dihindari.
Berdasarkan fakta tersebut, pada tahun 1999, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Agensi Internasional untuk Pencegahan Kebutaan (IAPB) berkomitmen untuk  mencapai tujuan eliminasi kasus-kasus kebutaan dengan penyebab yang dapat dicegah. Tujuan ini diharapkan dapat terpenuhi di tahun ini melalui program Vision 2020: The Right To Sight.Â
Dalam implementasinya, program Vision 2020 berfokus pada 3 komponen penting pencegahan, yaitu: intervensi kontrol penyakit yang bersifat cost effective, pembangunan sumber daya manusia, dan pembangunan infrastruktur yang mumpuni. Adapun beberapa prioritas penyebab kebutaan yang dapat dicegah tersebut, meliputi: katarak sebagai penyebab utama, kelainan refraksi belum terkoreksi, glaukoma, trakoma, dan defisiensi vitamin A.
Indonesia turut menyatakan keikutsertaannya dalam inisiatif global ini, tepat 1 tahun setelah peluncuran Vision 2020. Salah satu bentuk tindak lanjut pemerintah Indonesia adalah dengan pembentukan Komnas Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Komnas PGPK).
Kalender kini telah menunjukkan tahun 2020, sudah sejauh manakah perkembangan Indonesia dalam menumpas kebutaan?
Survei kesehatan tahun 1993-1996 melaporkan angka kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Angka ini, menurut WHO, bukan lagi sekedar menunjukkan suatu masalah kesehatan -- melainkan masalah sosial yang seharusnya sudah menjadi perhatian negara melalui pemerintah lintas sektoral.Â
Selanjutnya pada tahun 2007 dan 2013 melalui Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang diselenggarakan oleh Kemenkes RI, angka kebutaan turun drastis menjadi 0,9% dan 0,4% secara berurutan. Menyikapi hasil ini, Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI) memutuskan untuk melakukan studi validasi terhadap hasil riset tersebut dan mendapati bahwa diagnosis kebutaan yang ditetapkan oleh pelaksana survei RISKESDAS tergolong masih kurang baik. Sehingga, dikhawatirkan hasil survei kurang menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan.
Kemudian pada tahun 2014-2016, WHO merekomendasikan suatu sistem survei cepat terstandarisasi yang disebut dengan RAAB (Rapid Assessment Avoidable Blindness) menggunakan sampel penduduk di 15 provinsi. Sampel ini diyakini telah dapat merepresentasikan 75% populasi penduduk Indonesia yang sebesarnya. Data yang didapatkan cukup berbeda dari survei sebelumnya, yaitu angka kebutaan penduduk berusia di atas 50 tahun sebesar 3,0%. Data ini merupakan data terbaru yang ada saat ini.
Sama seperti survei pendahulunya, katarak masih menduduki peringkat pertama penyebab kebutaan yang dapat dicegah dengan perolehan kasus hampir mendominasi sebesar 80%. Saat ini, permasalahan yang terjadi disebabkan cakupan/jumlah operasi katarak masih tergolong rendah. Salah satu upaya peningkatan jumlah cakupan operasi katarak dapat dimulai dari aspek pasien, fasilitas dan tenaga kesehatan, serta sistem kesehatan di mana permasalahan jaminan kesehatan dan pola rujukan turut serta di dalamnya.Â
Hambatan terbanyak yang ditemukan meliputi kurangnya pengetahuan bahwa gangguan penglihatan akibat katarak tersebut dapat dioperasi dan biayanya dapat ditanggung oleh asuransi kesehatan. Kunci situasi ini, secara sederhana, adalah poin EDUKASI -- yang seharusnya dapat dilakukan tidak hanya oleh tenaga kesehatan melainkan sudah menjadi tanggung jawab warga negara mengingat masalah kebutaan ini adalah masalah sosial bagi kita semua.