Entah berapa lama, ku berdiam di pusara. Meniti angin penghantar aroma bunga kamboja dengan seruak lupa. Menghembus pada indra dengan rasa yang tak lagi peka. Ku amati kau yang tertidur selelap gelap, di ujung batang pohon tua.
Aku ingin memeluk kau yang bersandar pada pohon bersemak belukar. Inginnya aku menciumi keningmu seperti dulu. Seperti saat nafas memburu kita bersatu, saling mencinta dalam semu. Lekuk tubuh gontai kita yang tak terbaca lingua kata, hanya saling mendalami makna sebuah cinta.
Dan sampai saat ini pun, kau masih bersandar. Di sudut itu, di sudut pohon belukar. Menunggui aku yang kadang lupa pulang, menjengukmu yang kian meradang. Aroma kamboja menghantui rasa, ketika padamu aku meraba, mencari cerah yang terlelah. Padamu kusandingkan cinta, meski kau bersandar tanpa suara.
Lamat-lamat, ku dekati kau yang bersandar pada belukar. PadaNya terhimpun semerbak aroma kamboja, atas dasar cinta dua manusia, tersungkur aku merajut doa.
"Maafkan aku, Sayang. Maafkan karena terlambat pulang," lirihku pada sandaranmu. Dan untuk terakhir kalinya, aku mengecup keningmu. Keningmu yang tertahan, pada barisan nisan. Keningmu yang telah bersandar, tergerus belukar.
Dan kini, tak mungkin kita membahasakan cinta, pada sebuah pusara...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H