Mohon tunggu...
ayu wardhani
ayu wardhani Mohon Tunggu... -

aku menyukai hujan yang damai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harapan

5 Desember 2012   12:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:09 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi yang cerah mengawali hari dengan sebuah senyuman. Senyuman yang tulus dari seorang bocah berumur 15 tahun. Dia duduk sendiri dipinggir kali menikmati udara sejuk kota Kutoarjo. Walau air tak sejernih kali yang biasa ia lihat di televise-televisi milik tetangganya, tapi entah kenapa dia begitu suka dengan tempat itu, mungkin banyak kenangan masa kecilnya terlukis manis di tempat itu.

(*.*)

“No, ayo dong lompat, cepetan !! udah ga sabar nih liat gaya lompat kamu…” ucap Ivan.

Hari itu memang Irno dan kawan-kawannya sudah janjian untuk mandi dikali setelah seharian mencari barang-barang bekas. Melepas penat sejenak dikali yang tidak begitu jernih tapi walau begitu tak ada sampah yang mengotori kali itu.

“Iya No, cepetan dong, atau jangan-jangan kamu takut airnya dingin yah? Ga dingin kok, tenang aja…” sahut yang lain.

“Iya iya, sabar lah, aku lepas baju dulu…”

Byuurrr… akhirnya Irno terjun dari tepi kali dengan gaya lompatnya yang indah. “wahh, keren banget lompatanmu No, ajarin aku dong…” ucap Ivan.

“Iya, No, bagus banget lompatanmu, harusnya kamu tuh iso ikut lomba loncat indah sama renang, kamu kan pinter banget renangnya, kita aja kalah sama kamu kalo lomba renang…” tambah Rono.

“hahaha… mana mungkin aku bisa ikut lomba begituan…” ucap Irno, miris. “biaya sekolah saja aku cari dari mencari barang-barang bekas, itupun belum cukup, masih harus mencari pekerjaan lainnya untuk mencukupi kebutuhan yang lainnya, ga sempet mikir buat ikut lomba atau apa itu, ga ada uangnya…” terasa sesak di dada sudah menceritakan semua itu.

“tapi seenggaknya kamu bisa ikut lomba di acara tujuh belasan kan?” sahut Endar. “lumayan kan hadiahnya bisa nyenengin ati, hehe…”

“lah, udah lah, mending kita mandi lagi, kita kesini buat mandi bareng kan bukan buat ngerumpi kayak ibu-ibu yang biasa ke kali buat nyuci kan?” Irno mencoba mengalihkan perhatian, berharap pembicaraan tadi tidak berlanjut lagi

“haha, enak aja kita-kita disamain sama ibu-ibu tukang ngrumpi, mboten ilok…” semuanya tergelak, tak terkecuali Irno.

“eh, aku kasih tantangan nih…” ucap Rono tiba-tiba. “sapa yang bisa lebih dulu sampai jembatan, aku traktir kalian es lilin deh, pada mau ga?” ucap Rono menantang.

Anak lainnya malah menghela nafas, “yah, yang menang paling si Irno” ucap Darma.

“eh, coba dulu dong sapa tau Irno kalah…” ucap Ivan sambil buru-buru berenang sampai jembatan.

“heh, licik koe Van, nyolong start…” teriak yang lainnya. Akhirnya semuanya bergegas menyusul Ivan berenang. Semuanya berenang dengan hati yang ringan, melupakan sejenak tentang realitas yang sesungguhnya, realitas yang kadang tak adil bagi mereka.

(*.*)

“Irnoooo…. Irnooooooo…” Irno tersadar dari lamunannya. Bergegas ia mendekati sumber suara tersebut.

dalem mba…” Irno menjawab panggilan itu.

“koe di goleti neng Bapak kae..”ucap Mba Esni, kakak perempuan satu-satunya.

“oh, ya ya mba, Bapak neng endi tha?” Tanya Irno.

“Bapak lagi diteras, No.” ucap mba Esni mengikuti Irno yang berjalan menuju kerumah.

Di depan teras, Bapaknya sudah menunggu Irno sedari tadi. Dengan menggunakan pakaian yang sederhana, tak seperti orang-orang yang akan pergi ke kantor, Pak Juki hanya mengenakan kaos putih yang sudah sedikit kusam dan menggunakan celana tigaperempat yang sudah ada jahitannya disana-sini. Teras rumahnya tak begitu luas, rumahnya pun jauh dari kata layak. Dinding-dinding rumahnya hanya terbuat dari gedeg. Itu pun sudah banyak yang bolong karena dimakan oleh waktu. Genteng rumahnya sudah banyak yang bocor, sehingga kalau hujan turun, barang-barang yang masih berguna ditutupi dengan plastic agar tidak basah terkena air hujan. Lantainya hanyalah tanah, bukan seperti lantai rumah-rumah modern sekarang, halus dan licin. Siapapun orang yang melihatnya pasti akan merasa iba dengan keadaan tersebut, tapi semuanya hanya terucap dalam hati tak terwujud.

Akhirnya Irno sampai juga di teras depan rumahnya, bergegas menemui Bapaknya. “sugeng enjang, Pak, napa Bapak madosi kula?” Tanya Irno pada Bapaknya dengan sopan dan dengan bahasa Jawanya yang lumayan fasih. Bapaknya memang keturunan orang Kutoarjo asli, jadi memakai bahasa jawa dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi hal yang biasa. Dengan bahasa jawa pula Irno kepada orangtuanya sangat ngajeni. Pengucapannya yang halus membuat orang yang mendengarnya pasti merasa nyaman.

“No..” Bapaknya berkata dengan bijak. “Bapak arep golet gawean disit ya, koe ngancani ibu ning ngumah, mba Esni arep lunga disit.” Ucap Pak Juki sambil mengepulkan asap rokoknya, menghangatkan tubuhnya yang sudah mulai menua.

“Irno nderek Bapak mawon nggih, pak?” ucap Irno memohon pada Bapaknya.

“iya Pak, ora papa Irno ikut, aku dhewek wani kok…”ucap Bu Reni, ibunya Irno. Bu Reni bukan lah orang asli Kutoarjo, walaupun sudah lama tinggla di Kutoarjo, tapi bahasa jawanya masih belum begitu fasih. “sudah sana, ikut Bapak saja, ibu ga papa kok sendirian di rumah.” Ucap bu Reni tulus. Walau pun umurnya sudah menginjak setengah abad, tapi wajah ayunya masih terlihat jelas. Dengan senyum ke ibuannya yang membuat nyaman dipandang.

“yo wis, mayuh mangkat.” ucap Pak Juki.

“ati-ati neng ndalan ya Pak, No…” ucap bu Reni sambil melambaikan tangannya.

Akhirnya Bapak dan Anak itu berangkat mencari kerja bersama menuju pasar Kutoarjo dengan berharap ada rejeki disana yang sudah menunggumereka berdua. Mereka berangkat dari rumah berjalan kaki, kira-kira jaraknya mencapai 1 km. mereka hanya memakai alas kaki ala kadarnya. Jarang terdapat kendaraan lewat, kalaupun ada mereka hanya berharap ada yang mau berbaik hati menawarkan tumpangan untuk mereka berdua.

Setelah dua jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka semua sampai di pasar Kutoarjo.

Disana sudah banyak orang yang bertransaksi, saling tawar menawar antara pedagang dan pembeli, membuat mimik muka mereka berubah-ubah.

“Eh, Pak Juki…” sapa Pak Jefri ramah. “tembe teka tha? Aku olih njaluk tulung, Pak?” ucap Pak Jefri meminta bantuan pada Pak Juki. Pak Jefri adalah juagan sayur yang cukup kaya di Kutoarjo, dilihat dari dandanannya pun sudah sangat terlihat jelas.

“Oh, nggih, Pak.. saged saged, nyuwun tulung napa nggih?”ucap Pak Juki dengan senang hati. “kiye, tulung angkutna kandi-kandi kiye maring mobil ya, Pak?” ucap Pak Jefri. Akhirnya Pak Juki melaksanakan perintah tersebut. Melihat itu, Irno berinisiatif untuk pergi ke dalam pasar. Sapa tahu di dalam sana sudah ada rejeki yang menanti, ucap Irno penuh harap. Dan semoga bukan hanya sekedar harapan.

Di dalam pasar, Irno melihat ada ibu-ibu yang kelihatannya kesulitan membawa barang bawaannya. Irno mendekati ibu-ibu tersebut. “Bu, bisa saya bantu?” ucap Irno dengan tersenyum manis. “oh, iya de, bisa. Tolong bawain kantong belanjaan ini ya, berat-berat banget soalnya, kamu kuat kan?” Tanya ibu itu dengan sedikit ragu karena melihat tubuh kecil Irno.

“tenang saja bu, saya kuat kok.” Ucap Irno meyakinkan Ibu tersebut. Ibu itu akhirnya menyerahkan barang belanjaannya dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir didepan pasar Kutoarjo. “sudah turunkan sini saja, biar nanti ibu yang beresin semuanya masuk ke mobil. Kamu kuat juga yah?” ucap ibu itu sambil tersenyum memuji. “ahh biasa saja, bu.” Ucap Irno malu-malu, mukanya merah padam seperti kepiting rebus.

“eh ini upahnya, sering-sering bantu ibu yah?” ibu itu menyerahkan sejumlah uang sebagai upah membantu.

“maturnuwun bu…”

“panggil saja bu Tuti.” Ucap Bu Tuti dengan senyum.

“maturnuwun nggih bu Tuti.” Ucap Irno penuh senyum. “eh, tapi ini uangnya ga kebanyakan ya bu? Atau ibu salah mengambil uang?” ucap Irno menyodorkan kembali uang itu pada bu Tuti. “ah tidak, itu sebagai upah bonus kamu karena kamu ramah.”

“eh, maturnuwun sanget bu, maturnuwun.” Ucap Irno tulus.

“iya iya, ibu pergi dulu ya nak.” Mobil itu berjalan pelan keluar dari parkiran pasar Kutoarjo.

“ati-ati bu.. maturnuwun sanget !!” ucap Irno berteriak karena mobil itu semakin jauh. Wahh, andai semua orang yang kaya seperti bu Tuti, pasti orang miskin tak akan kesusahan untuk mencari nafkah. Gumam Irno pelan. Irno kembali bekerja. Bekerja apapun yang penting menghasilkan uang.

(*.*)

Tak terasa, matahari sudah berada diatasnya persis. Menunjukkan waktu Dhuhur. Irno memutuskan untuk pulang kerumah sendirian. Ia tadi bertemu Bapaknya, tapi Bapaknya mengatakan bahwa akan pulang sore. Akhirnya sejam perjalanan nanti dai hanya berjalan seorang diri melewati pinggir hutan menuju rumahnya yang sederhana. Hawa panas jelas sangat menyengat kulit, kakinya pun terasa panas menjejak di aspal. Walau dia memakai alas kaki, tapi alas kaki itu sudah sangat lama, bertahun-tahun, alasnya sudah sangat tipis sehingga kalau dipakai telapak kaki tetap merasa panasnya aspal.

Keluhan hanya bisa dia tahan dalam hati, ia jalani semua itu dengan hati. Tak pernah di wajahnya tersirat sebuah keterpaksaan hidup, semuanya ia tutup rapat-rapat, hingga orang lain tak akan tahu. Di tengah perjalanan, dia bertemu barisan anak sekolah yang baru pulang. Memakai seragam, menggendong tas yang berisi buku-buku pelajaran, memakai sepatu yang layak, bercanda ria bersama kawan-kawannya, melangkah dengan ringannya tanpa ada beban sedikitpun, semua itu mengingatkan ia pada kawan lamanya dulu, dan saat dia masih sekolah menengah pertama.

Entah kawan-kawannya sekarang ada dimana, terakhir bertemu setahun yang lalu saat dia dan kawan-kawannya lulus SMP. Setelah lulus, mereka semua berpencar ke segala penjuru arah, bagi yang masih beruntung bisa melanjutkan pendidikan mungkin menggapai mimpi-mimpinya di kota, bersekolah di sekolah yang lebih layak bagi mereka. Namun bagi yang tak mampu lagi untuk melanjutkan pendidikan karena keterbatasan, kebanyakan dari mereka memilih untuk bekerja serabutan demi membantu orang tuanya. Ada pula yang memilih bekerja di luar kota yang lebih menjanjikan meski tak semuanya beruntung bisa dengan mudah bekerja dikota.

Irno sendiri masih di desa kelahirannya, bekerja serabutan demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi dia masih mempunyai seorang adik yang masih bersekolah di sekolah dasar. Adiknya yang masih sangat kecil dan yang sangat ia sayang. Keinginan untuk melanjutkan sekolah ia pendam dalam-dalam, tak mau ia menuntut lebih kepada orangtuanya untuk menyekolahkannya lagi, karena untuk menyekolahkan adiknya pun dia harus ikut encari uang demi biaya sekolah adiknya yang kini semakin mahal. Terlalu mahal bagi mereka yang kesulitan mendapatkan uang, jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari saja mereka masih kesulitan.

Irno terus berjalan melewati gerombolan anak sekolah tadi. Dibenaknya berkecamuk banyak pertanyaan, pertanyaan yang belum terjawab. Apakah nasib semua orang miskin memang selalu seperti ini? Tak adakah pilihan yang lainnya untuk kami yang tak punya apa-apa? Haruskah kami terus-terusan hidup dengan belas kasihan dari orang lain? Irno terus sibuk dengan pikirannya. Bisakah dia keluar dari itu semua dan bisa hidup layak seperti kebanyakan orang? Seperti angannya yang begitu ingin hidup layak serba kecukupan dari segi manapun, tapi lagi-lagi dia hanya bisa menelan ludah kekecewaan, mungkin itu akan terwujud beberapa tahun lagi, atau mungkin tidak pernah terwujud?

Dengan segera ia membuang semua pikirannya tadi, membuangnya jauh-jauh. Mulutnya mulai bersiul riang menghilangkan rasa sepi dan pikirannya tadi, asalkan kita mau usaha, menjalaninya dengan hati, dan dengan jalan yang benar, pasti semua yang kita inginkan bisa tercapai. Ia ingat ucapan Pak Gurunya dulu, “Janganlah kau mencari sesuatu dengan ambisi yang berlebihan, pasti tak akan pernah kau menemukannya karena kau tak pernah merasa puas dengan apa yang kau punya.” Irno tersenyum, riang. Dia percaya, semuanya pasti ada waktunya, asalkan mau berusaha dan tetap tersenyum.

(*.*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun