Mohon tunggu...
Ayu Vinegia
Ayu Vinegia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Makassar, ID

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Media Sosial, Standar Kecantikan dan Peran Farmasis

25 April 2021   16:20 Diperbarui: 25 April 2021   16:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kehadiran internet dan media sosial, tak dimungkiri memberi andil besar dalam mengubah persepsi masyarakat perihal gaya hidup. Salah satu gaya hidup yang mengalami perubahan signifikan akibat hadirnya internet dan media sosial adalah tentang persepsi masyarakat dalam memandang kecantikan. Bagaimana orang-orang memandang, melabelkan, dan mengekspresikan kecantikan, mencapai titik kulminasi akibat makin masifnya orang-orang mengaktualisasi dan mempromosikan standar kecantikan itu melalui iklan di internet atau sekadar postingan di media sosial.

Kita tahu, gambaran ideal tentang definisi cantik yang selama ini didengungkan adalah para perempuan yang memiliki kulit putih, tubuh tinggi semampai, dan langsing. Hal ini diamini oleh sebagian besar perempuan dan terus dilanggengkan melalui iklan dan media sosial, secara sadar maupun tidak sadar.

Terlebih, keberadaan media sosial yang oleh sebagian besar masyarakat dijadikan sebagai wahana 'pamer', membuat persaingan dan aktualisasi terhadap kecantikan semakin masif dilakukan. Orang-orang, melalui berbagai macam fitur di media sosial, berlomba-lomba menampakkan gambar dirinya. Sebagian besar, sangat memperhatikan detail-detail gambar yang hendak diposting, seperti bentuk tubuh, warna kulit wajah, bibir, dan lain-lain.

Jika harus menjawab jujur, pastilah sebagian besar aktualisasi diri melalui media sosial itu, tidak semata-mata untuk memuaskan dirinya, tetapi untuk memenuhi hasrat diakui, dipuji, dan diperhatikan oleh sekitarnya.

Fenomena tersebut, tak pelak membuat persaingan menampilkan kecantikan diri tidak hanya dilakukan oleh para model majalah atau seleb semata---sebagaimana yang terjadi di masa lalu, tetapi juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini, tentu menimbulkan masalah tersendiri. Dari perspektif sosial dan kultural, sudah barang tentu masalahnya adalah bahwa persepsi masyarakat perihal gambaran idealitas perempuan yang putih, langsing, dan tinggi, akan terus dilanggengkan. Bahkan akan dijadikan sebagai alat untuk mengkapitalisasi. Padahal, ideal dan cantik memiliki banyak sekali definisi yang berbeda, yang tentu tidak terbatas pada penampakan secara fisik saja.

Kemudian, dari perspektif kesehatan, maraknya tren menampilkan kecantikan diri juga menimbulkan masalah tersendiri. Yakni, ketika sebagian masyarakat berlomba-lomba mempercantik diri, tanpa bekal pengetahuan dan barangkali kocek yang banyak untuk mendapatkannya. Sebab, maraknya produk kecantikan yang beredar juga diiringi dengan tumbuhnya oknum-oknum yang berusaha memanfaatkan ceruk bisnis ini dengan membuat produk kecantikan yang murah, tapi mengabaikan standar keamanan dan kesehatan.

Sudah banyak contohnya, mereka yang terjerat rayuan produk kecantikan abal-abal. Ingin terlihat cantik, malah berujung sakit. Nyaris tiap tahun, terus bermunculan berita mengenai aparat kepolisian yang berhasil membekuk oknum-oknum yang memproduksi produk kecantikan abal-abal dan tidak sesuai standar kesehatan dan keamanan.

Hal ini diperparah dengan strategi para oknum itu, yakni dengan menggunakan artis, selebram, atau influencer terkenal untuk meng-endorse produk tersebut. Tanpa pengetahuan yang memadai, para selebriti itu membantu mempromosikan produk kosmetik yang ternyata berbahaya bagi tubuh. Masyarakat Indonesia yang awam dan terutama kecenderungannya untuk meniru para idola mereka, akan dengan mudah memercayai dan menggunakan produk-produk tersebut.

Paling viral, tentu adalah kasus di awal tahun 2021 lalu yang menyeret artis kenamaan, Kartika Putri, yang mempromosikan krim wajah yang diuji oleh dr. Richard Lee, seorang pakar kecantikan, yang ternyata mengandung bahan merkuri dan hidrokuinon. Bahan-bahan yang berbahaya dan perlu pengawasan ketat oleh para ahli dalam pengonsumsiannya.

Bayangkan jika hal ini terus dibiarkan terjadi, bukan menjadi hal yang mustahil bahwa permasalahan ini, akan membawa dampak lebih besar ke depannya dari berbagai sisi. Maka dari itu, hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi para akademisi dan ahli di bidang farmasi.

Maraknya peredaran produk kosmetik berbahaya yang terus terjadi, membuktikan bahwa skema uji laboroatorium, produksi, hingga distribusi dan edukasi mengenai produk kosmetik belum mengakomodasi peran dari para apoteker atau ahli farmasi. Produk-produk yang selama ini menjadi tren dan dipercaya oleh masyarakat, adalah produk kosmetik yang secara sembarangan, acap dipromosikan oleh para selebriti tanpa memperhatikan kualitas dan standarnya yang mestinya telah teruji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun