Dalam suku adat manapun di Indonesia, upacara pernikahan merupakan upacara yang dianggap sakral dan suci. Tidak terkecuali bagi masyarakat Jawa. Upacara pernikahan merupakan upacara yang mempunyai banyak rangkaian acara didalamnya, dari sebelum hari temu penganten sampai setelahnya terdapat berbagai macam rangkaian acara yang harus dilaksanakan. Banyak sekali ditemukan penggunaan simbol-simbol yang menggambarkan filosofi kehidupan masyarakat Jawa di dalam upacara pernikahan tersebut.
Secara sederhana, di sini saya akan menguraikan prosesi pernikahan adat Jawa khususnya prosesi misuhi sukunipun panganten jaler (mencucikan kaki pengantin laki-laki) oleh pengantin perempuan terkait dengan pandangan feminisme.
Membahas pandangan feminisme terhadap budaya Jawa mengingatkan saya pada sebuah kisah salah satu dosen saya yang menikah dengan seorang perempuan lintas negara, tepatnya negara di Eropa. Karena dosen saya ini orang Jawa, pernikahan pun dilaksanakan dengan menggunakan adat Jawa. Terjadilah sebuah pertanyaan ketika sang istri harus melakukan prosesi mencucikan kaki suaminya tersebut. “Kenapa aku harus mencuci kaki suamiku?” Teman-teman dari sang istri pun juga bertanya-tanya bahkan menertawakan prosesi tersebut, karena mereka berpandangan bahwa pelaksanaan acara tersebut hanyalah merendahkan derajat seorang perempuan atau istri dihadapan suaminya. Mengingat pandangan masyarakat Eropa tentang feminisme yang menggembor-gemborkan emansipasi wanita dan kesetaraan gender.
Jika kita perhatikan, dalam budaya Jawa memang banyak sekali simbolisasi yang menjelaskan bahwa perempuan ditempatkan pada posisi dibawah laki-laki, karena Jawa memang menganut sistem patriarki. Dimana laki-laki adalah makhluk yang selalu ditempatkan pada posisi koordinat dan perempuan merupakan subordinat. Sejarah pun membuktikan bahwasanya pada zaman dahulu perempuan tidak diperkenankan untuk mengenyam pendidikan dan muncullah peribahasa bahwa perempuan adalah kanca ing kasur, sumur lan dapur (teman di tempat tidur, kamar mandi dan di dapur), sehingga lahirlah tokoh-tokoh perempuan seperti Kartini dan Dewi Sartika yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Jika dilihat dengan menggunakan pandangan feminisme, sangat jelas sekali bahwa prosesi misuhi ini adalah suatu prosesi yang menandakan bahwa adanya suatu hubungan yang tidak sama atau tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Ada sebuah lelucon kenapa tidak bergantian saja dalam mencuci kaki, setelah pengantin perempuan selesai mencuci kaki pengantin laki-laki, gantian pengantin laki-laki mencuci kaki pengantin perempuan, atau mencuci kaki masing-masing saja biar tidak ada anggapan bahwa budaya Jawa tidak mengakui kesetaraan gender. Namanya juga adat-istiadat yang sudah berakar dalam suatu masyarakat, pasti dalam prosesi tersebut menyimpan sebuah makna yang begitu dalam. Adapaun makna dari prosesi misuhi ini adalah merupakan simbol atau tanda bakti seorang perempuan (istri) kepada suaminya. Baktinya atau ta’atnya seorang istri kepada suami adalah suatu hal yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa khususnya dan bangsa timur pada umumnya. Pandangan feminisme dalam hal ini pun juga harus melihat konteks prosesi misuhi ini dalam konteks budaya Jawa, bukan konteks posisi perempuan dan laki-laki secara umum, apalagi feminisme merupakan produk budaya barat yang pastinya mempunyai nilai-nilai yang berbeda terkait emansipasi dan kesetaraan gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H