Alamat DPT saya sekitar empat jam dari Kota Malang, jadi untuk memilih presiden pada tanggal 9 Juli nanti saya harus pulang ke rumah orang tua saya. Saya masih beruntung dapat mengikuti pemilihan presiden nanti pada 9 Juli, dan saya bersemangat menantikannya.
Tapi banyak kawan saya yang kurang beruntung. Kebanyakan kawan-kawan saya berasal dari luar kota Malang, bahkan dari luar Pulau Jawa. Ada yang dari Madura, Lombok, Kepulauan Riau, Medan, Mataram, Bima, Sulawesi Tengah dan Kalimantan merasakan kekecewaan yang besar karena tidak bisa ikut dalam hiruk-pikuk pemilu presiden. Padahal mereka tak kalah semangat mendukung capres masing-masing.
Permasalahannya adalah ribetnya mengurus formulir A5, bahkan sejak pemilu legislatif. Bahkan pemilu legislatif lalu saya juga memutuskan golput karena keribetan melakukan pengurusan formulir A5. Tapi untuk pemilu presiden, saya tidak akan golput meskipun harus menempuh jarak lebih dari 100 km menuju TPS.
Dari informasi yang saya dapatkan, formulir A5 adalah formulir yang perlu diurus untuk calon pemilih yang pindah tempat pilih. Formulir A5 diurus di daerah masing-masing untuk kemudian diserahkan di daerah tempat pilihan pindah pilih.
Tidak semua orang punya waktu dan biaya untuk pulang ke daerah masing-masing dan mengurusnya, jikapun meminta diuruskan, belum tentu orang tua atau kerabat kawan saya mengerti caranya-- juga mau melakukannya.
Celakanya lagi kepengurusan formulir A5 sudah habis tenggat waktunya tanggal 29 Juni lalu. Jadilah, kami mahasiswa rantau “dipaksa” golput. Siapa yang memaksa kami golput: (1) ketidaktahuan cara mengurus pindah pilih (2) kurangnya sosialisasi KPU masalah tata cara pengurusan pindah pilih (3) Mendagri Gamawan Fauzi yang menciptakan e-KTP yang tidak berfungsi.
Konon, dari dongeng yang saya dengar, e-KTP salah satu tujuannya agar bisa digunakan bagi perantau dalam proses pemilu. Lantas kalo begini? Kita buang saja e-KTP rame-rame… toh KTP saya yang lama tidak dicabut.
Sebenarnya jikapun kami berhasil mendapatkan formulir A5 dan mendaftarkannya di TPS domisili kami sekarang, para pemilih pindah pilih ini harus berebut sisa 2% surat suara yang tersisa di masing-masing TPS. Dan yang pindah pilih ini bukan saja mahasiswa, tapi juga banyak pekerja. Kesimpulannya jika kami bisa mengurus proses pindah pilih, ada kemungkinan kami tetap tidak bisa mencoblos karena kehabisan surat suara.
Tapi, sekali lagi… sebenarnya minat kami untuk memilih masih sangat-sangat-sangat tinggi. Saya menjadi saksi bagaimana kawan-kawan saling semangat berdiskusi menyaksikan debat meskipun saya menangkap rasa getir mereka akibat “dipaksa” golput.
Saya mewakili puluhan mahasiswa kampus yang saya kenal dengan permasalahan serupa. Nilai suara kami memang hanya segelintir. Hanya 0,000 sepersekian persen dari total penduduk Indonesia. Tapi tolong manusiakan kami. Anggap suara kami berarti.
Dan dari ini, saya benar-benar minta tolong, apa ada saran lain selain mengurus formulir A5? Saya ingin mencari solusi untuk kawan-kawan saya. Sementara pemilihan umum presiden tinggal H-3. Terima kasih banyak sebelumnya.
Salam…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H