*oleh: Ayu Sri Darmastuti
Pada tanggal 29 Juni hingga 4 Juli 2011 MPA Jonggring Salaka melaksanakan Spesialisasi Divisi Konservasi yang merupakan kelanjutan pendidikan Diklat 30. Divisi konservasi mengadakan ekspedisi observasi mandiri selama enam hari di Pantai Ngagelan Banyuwangi, tepatnya di Pembinaan Populasi Penyu Semi Alami Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Observasi tersebut bertujuan untuk mengetahui proses reproduksi penyu dan tingkat harapan hidupnya berada di Pantai Ngagelan.
[caption id="attachment_213390" align="alignleft" width="269" caption="Tukik menuju Laut"][/caption]
Delapan orang yang terdiri dari dua peserta Spesialisasi dan enam jajaran pendamping merupakan mahasiswa-mahasiswi UM yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Mustawan A. (Teknik Elektro), Reza I. (DKV), Sri Puji (Geografi), Royhan N. (Sastra Inggris), Fatkurahman (Akuntansi), Bangkit T. (DKV), Wahyu Bhimo (DKV), dan saya sendiri jurusan Biologi. Berbagai disiplin ilmu nyatanya tidak menyulitkan jalannya observasi, bahkan justru memberikan banyak pandangan dari masing-masing bidang keahlian.
Hamparan Pantai Selatan Taman Nasional Alas Purwo terpampang sejauh 19 km dan terbagi ke dalam 19 sektor, masing-masing sektor berjarak 100 meter. Banyak tempat pariwisata di sepanjang pantai tersebut antara lain Bedul, Pancur, Segara Anakan, dan Plengkung yang terkenal bagi para pe-surfer internasional karena ombaknya. TNAP sendiri membagi wilayahnya menjadi tiga zona, yakni zona penyangga, zona rimba, dan zona inti.
Hari kedua (30 Juni 2011) tiba di Banyuwangi, kami membereskan masalah perijinan, mulai dari SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi), puskesmas, hingga perijinan ke polsek setempat. Hal tersebut amat penting karena Ngagelan berada di dalam kawasan Konservasi dan masuk ke dalam zona inti. Sebagai kawasan yang masuk ke dalam zona inti, pengunjung sebenarnya tidak boleh sembarangan masuk kecuali memiliki tujuan konservasi, pendidikan, atau penelitian.
Menjelang sore pukul 16.00 rombongan dengan mobil sampai di Pantai Ngagelan setelah perjalanan melewati tanah makadam. Kiri-kanan jalan yang ditumbuhi oleh hutan tropis pantai dengan liana-liana yang melilit menjadi pusat perhatian selama perjalanan. Sesampainya di basecamp, kami disambut oleh 3 orang penjaga pos Ngagelan yang terbilang sangat ramah. Mereka menyarankan kami untuk meletakkan barang-barang di shelter untuk tamu. Tapi kami memutuskan untuk tetap mendirikan tenda dan flysheet untuk memudahkan pergerakan.
Berbarengan dengan sunset pertama di Pantai Ngagelan, kami mendapatkan informasi dari penjaga pos mengenai keadaan pantai. Mulai dari pasang-surut, kemungkinan pendaratan penyu, hingga kegiatan lalar. Lalar adalah kegiatan patroli malam hari untuk mendeteksi pendaratan penyu dan sarang telurnya.
Penyu yang tercatat pernah mendarat di Pantai Ngagelan antara lain Penyu Abu-abu (Lepidochelys olivaceae) dengan prosentasi terbanyak, Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), Penyu Belimbing (Dermochelys coreaceae), dan Penyu Hijau (Celonia mydas). Berbeda dengan kura-kura yang menghabiskan hidupnya di air tawar dan darat, penyu menghabiskan hidupnya di laut. Mereka mampu mengarungi lautan yang luas dengan bantuan anggota tubuh yang termodifikasi memipih menjadi semacam sirip.
Penyu memiliki siklus hidup yang panjang, rata-rata untuk mencapai kedewasaan membutuhkan waktu 30 tahun. Mereka melakukan perkawinan di laut, namun untuk peneluran dan penetasannya mereka membutuhkan daratan (pantai). Penyu betina akan naik ke pantai jika waktu bertelur telah tiba, mengubur sarang telur, membuat sarang tipuan, dan kembali ke laut. Mereka naik pada malam hari untuk menghindari predator maupun gangguan-gangguan lain.
Telur akan menetas sekitar 8 minggu tergantung untuk masing-masing spesies. Jenis kelamin (seperti pada umumnya reptil) ditentukan oleh suhu sarang. Suhu yang lebih tinggi 3-4 derajat akan membuat telur berjenis kelamin betina. Saat telur menetas, tukik (sebutan untuk anak penyu), akan berjuang naik ke permukaan sarang pasir dan menuju laut. Yang tidak dapat keluar dari sarang akan mati tertimbun atau dimakan pemangsa antara lain biawak (Varanus salivator) danBabi Hutan (Sus scrova).
Ketika tukik berhasil keluar dari sarang, pemangsa lain menunggu, diantaranya musang, gagak, camar (Haliatus leucogaster), dan manusia. Jika mereka keluar terlalu siang suhu permukaan pasir akan memanas, mereka bisa mati kelelahan atau dehidrasi. Karena situlah pelalar malam, yakni para penjaga pos Ngagelan, bertugas memindahkan telur-telur tersebut dari sarang asli ke tempat pembinaan populasi penyu semi alami (di tanam kembali ke sarang buatan). Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi resiko tingkat kematian tukik pasca peneluran.
Menjelang pukul sembilan malam kami melakukan observasi pendaratan penyu. Tim kemudian di bagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 3 orang, yang satu berjalan sejauh 1,5 km ke arah barat dan tim lain berjalan sejauh 3 km ke arah timur. Tim basecamp disisakan 2 orang untuk berjaga di tenda.
Kebetulan saya berada di tim timur yang didampingi oleh dua petugas lalar. Biasanya mereka sudah tidak lagi berjalan untuk menyusuri lalar karena pantai yang terlalu luas. Lalar dilakukan sekitar pukul 00.00 – 03.00 dengan menggunakan sepeda motor trail. Saat lalar tidak boleh ada cahaya atau kebisingan, maka jadilah kami berjalan dalam gelap dan senyap. Hanya sesekali para petugas bercerita tentang tugas-tugas jaga mereka.
Ombak Pantai Selatan Jawa yang besar mengiringi langkah-langkah sunyi kami. Hanya bercahayakan gugus-gugus bintang, akhirnya kami berhasil mengadaptasikan mata dengan kegelapan. Satu peringatan bagi kami untuk tidak menyentuh batas laut, karena pasang Ngagelan yang besar dan pantainya yang termat landai dapat dengan mudah menyeret orang ke tengah laut.
Pukul 23.00 kami kembali ke basecamp karena tidak menemukan pendaratan penyu. Sesampainya di basecamp, kami terkesima karena ternyata beberapa sarang tengah bertepatan menetas. Perlahan tukik-tukik kecil merayap, menyembul keluar dari gundukan pasir. Bau-bau amis mereka pasti akan mengundang banyak pemangsa. Kami-pun membantu petugas mengamankan tukik-tukik, yang semuanya penyu abu-abu, ke dalam bak.
Untuk tukik-tukik yang tidak berhasil keluar, petugas menggali sarangnya dan membantu mengeluarkan mereka. Terlihat dari dasar sarang telur-telur penyu yang membusuk mengeluarkan bau anyir. Kami dan para petugas menyortir tukik sehat dan yang kurang sehat untuk selanjutnya didata tingkat kematian per-sarang. Pukul 03.00 dinihari kegiatan kami selesai. Setelah evaluasi dan koordinasi kami-pun berbagi tugas jaga dan giliran tidur. Kami melakukan pergiliran tidur untuk menjaga barang dari gangguan monyet-monyet yang sering mencuri barang.
Pukul 08.00 pada hari ke tiga, saya ikut salah satu petugas jaga untuk mencari kerang yang tersebar sepanjang pantai. Sebelumnya kami sempat langsung diberi oleh petugas tersebut untuk dikonsumsi, sekarang saya tahu sendiri bagaimana cara mencarinya. Kerang-kerang tersebut bersembunyi di dalam pasir, sehingga kami harus menggalinya saat ombak surut sebelum mereka kembali masuk ke dalam pasir.
Ternyata kerang-kerang itu digunakan untuk konsumsi tukik-tukik yang ada di bak penampungan. Tukik berumur dua hari sudah dapat mengkonsumsi ikan ataupun rumput laut. Di dalam penampungan terdapat dua jenis tukik yang telah siap dilepaskan, namun masih dirawat di dalam bak. Dua jenis tukik tersebut adalah tukik sisik dan lekang (tukik abu-abu).
Sisa hari itu dihabiskan untuk melakukan pengambilan data sekunder dengan wawancara lebih lanjut kepada pihak penjaga pos, sedangkan satu tim lagi melakukan pengukuran ketinggian sarang sejauh empat kilometer dari basecamp. Menjelang malam sebagian dari kami ikut serta melalar (patroli) bersama para penjaga pos dengan sepeda motor trail.
Hari-hari selanjutnya tinggal dilakukan plester chase (membuat tiruan jejak dari gypsum) mamalia yang berada radius 1 km dari penampungan sarang untuk kemudian diidentifikasi hewan apakah pemilik jejak tersebut. Tak jarang kami bertemu dengan babi hutan, biawak, ataupun camar-camar yang tak sadar bahwa kami ada di sana.
Hari terakhir tanggal 4 Juni 2011, kami berpamitan dengan para penjaga pos Pantai Ngagelan. Sebelum pulang dan ber-packing, kami melakukan upacara penutupan acara Spesialisasi dan memberikan atribut berupa kaos biru kepada peserta spesialisasi. Tak lupa ucapan selamat tinggal dan sampai jumpa lagi kepada laut selatan Pantai Ngagelan yang ganas, camar, barisan hutan Baringtonia dan seluruh isinya, juga pada para tukik. Semoga kalian mencapai umur kedewasaan puluhan tahun lagi dan kembali ke pantai ini untuk bertelur. Save turtles, save environment…
Penulis adalah mahasiswa jurusan Biologi Fakultas MIPA UM
dan juga aktif dalam UKM MPA Jonggring Salaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H