(resensi)
Daya baca saya masih minim, dalam minggu ini saja buku yang saya ‘telan’ hanya cukup dua, dengan kategori bacaan favorit. Buku tersebut adalah MERABA INDONESIA dan TEPIAN TANAH AIR
Dua buku yang layak dan wajib dibaca untuk pecinta tanah air Indonesia. Keduanya mengingatkan kita bahwa Indonesian Archipelago is always lovely to explore. Kepulauan Indonesia ini sangat indah, dan mengagumkan untuk dijelajahi, kaya sekaligus ironis. Untuk melihat kenyataan dan menilik wajah asli penghuni Indonesia dari dekat membuat pembaca kedua buku ini terenyuh.
Jadilah kita wajib bangun dari mimpi-mimpi sinetron televisi. Tidak semua kehidupan berlangsung indah seperti kehidupan Pulau Jawa yang terwakili oleh kota besar macam Jakarta. Jangankan internet atau jaringan televisi, akses komunikasi, listrik, atau air bersih pun belum tentu mencapai 17.000 pulau Indonesia. Baik yang berpenghuni maupun yang jelas tak berpenghuni.
Tanpa banyak basa-basi lagi, berikut saya sajikan referensi keduanya dari kacamata minus (yang ternyata lupa saya pakai).
TEPIAN TANAH AIR
Dari awal prakata dan sambutan buku besar bersampul hardcover tebal ini benar-benar mewah. Mulai dari Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono), Departemen perhubungan, Kepala Staf TNI AL, Departemen Kebudayaan Pariwisata, hingga para sponsornya menghiasi dengan rangkaian halaman pembuka. Sebuah awalan pembuka yang menjanjikan.
Buku dengan isi full foto tersebut adalah buku kesayangan saya selama satu minggu, saya bawa kemana-mana, dan dibaca dimanapun ada waktu senggang. Tiap fotonya yang dilengkapi artikel membenamkan awang-awang imajinasi tentang kepulauan terluar Indonesia. Keadaan, kesulitan akses, topografi, masalah dan eksotisme kepulauan.
Buku besutan Wanadri, Rumah Nusantara dan banyak pihak lain ini mengambil latar belakang Deklarasi Djuanda. Sebuah traktat yang mengesahkan wilayah Indonesia sebagai archipelago, menyatukan kepulauan-kepulauan dari ujung barat hingga ujung timur dengan perairan di sekelilingnya.
Perjalanan yang diberi judul “Ekspedisi Garis Depan Nusantara” ini menjelajahi 92 pulau terluar Indonesia yang menjadi titik dasar (TD) peletakkan batas negara.
Saya hanya membaca edisi Indonesia bagian barat, tapi dari buku ini saya bisa menggambarkan pulau-pulau terluar Indonesia terbilang “mengenaskan”. Baru diperhatikan ketika negara ini berada di ambang batas hilangnya pulau perbatasan (baca:direbut, berdiri sendiri, keluar).
Pulau-pulau tersebut mengalami kesulitan air bersih, akses transportasi minim, tak berpenghuni (kadang hanya dihuni 1-4 petugas), bahkan keadaan mercusuar yang terbengkalai. Sendirian menghadapi gerusan ombak keras lautan dunia.Tapi saya juga terbuai membayangkan eksotisme pulau-pulau tersebut melalui keterangan dan foto-foto yang terdapat di dalam buku ini.
MERABA INDONESIA
Sebuah catatan perjalanan oleh Ahmad Yunus yang menceritakan petualangannya berkeliling Indonesia bersama rekan wartawan seniornya Farid Gaban. Yang mengesankan, ekspedisi bertitel “EkspedisiZamrud Katulistiwa” ini tidak terbilang mewah, mereka berdua kebanyakan menggunakan sepeda motor andalan dari titik awal perjalanan. Jakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Flores.
Gaya penceritaan penulis yang akrab dan beberapa sudut pandangnya membuat pembaca buku ini merasa ikut terbuai perjalanan, ikut merasakan keras dan hancurnya jalanan yang mereka tempuh, dan ikut menyelami permasalahan yang mereka bincangkan mengenai problema masyarakat pinggiran yang terlupakan.
Beberapa kali saya bergidik merinding dan ngeri mendengar nasib saudara kita yang berada di daerah perbatasan Indonesia. Sulitnya akses air bersih, bahan logistik luar biasa mahal, kisah pemalakan oleh petugas sendiri di selat Malaka, transportasi untung-untungan, atau bagaimana penduduk mencari penghidupan dengan membahayakan hidup mereka.
Yang paling terenyuh adalah kisah-kisah penyelaman menggunakan kompresor masyarakat di Pulau Jinato dalam kisah epik yang diberi judul “Janda Kompresor”. Merinding melihat tulisan tentang perjalanan di Kalimantan, melihat keringnya hulu Sungai Kapuas. Atau cukup tertawa prihatin membaca bagaimana peralatan kedua petualang ini rusak saat awal ekspedisi akibat sampan yang tenggelam.
Dengan beberapa tulisan cukup emosional, Ahmad Yunus juga menceritakan keterikatannya dengan masyarakat Flores yang tolerans. Juga kisah-kisah kelam tahun 65’ yang tak terungkap di Flores.
REFERENSI ini tidak mengungkapkan seluruh isi kedua buku. Artikel saya hanya berisi kutipan-kutipan dan garis besar isi keduanya. Yang jelas dua buku ini sangat menarik untuk dibaca. Sangat menampar bagi kita yang bergaya hidup hedonis tanpa memikirkan sumbangsih untuk orang lain. Terlalu idealis dan munafik? (ya….. tralala)
Dan dengan pengecutnya, setelah membaca kedua buku ini saya malah bersyukur hidup di tempat saya saat ini (Malang, Jawa Timur). Tapi intuisi untuk “tersesat” membuat adrenalin kian terpacu. Jelas kedua buku ini membuat iri. Saya juga ingin bertualang ke pulau-pulau. Melihat Indonesia lebih baik dengan mengenal rakyatnya dari dekat.
Selamat Membaca :)
*****************************
TEPIAN TANAH AIR
92 Pulau Terluar Indonesia
Indonesia Bagian Barat
Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh
Penerbit Buku Kompas, Januari 2009
PT Kompas Media Nusantara
©2009, Wanadri dan Rumah Nusantara
ISBN : 978-979-709-397-6
*************************
MERABA INDONESIA
Penulis : Ahmad Yunus
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan I : Juli 2011
ISBN :978-979-024-285-2
baca juga di http://ayukpiyuk.blogspot.com/2012/09/meraba-tepian-tanah-air-indonesia.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H