Mohon tunggu...
Ayu Sri Darmastuti
Ayu Sri Darmastuti Mohon Tunggu... Asisten desain grafis -

membaca, opini, tersesat, rimba-belantara, malam, kopi, musik lawas, Indonesia, anak-anak, imajinasi, oil pastel, tumbuhan, biologi... dan senyuman :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Balada Kode Etik Jurnalistik

25 Juni 2014   08:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:09 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya akan mengawali pembicaraan ini dengan sebuah kekhawatiran. Saya tidak tahu bagaimana menyebutnya secara spesifik, tapi yang jelas warga negara Indonesia sudah ditelantarkan dari perlindungan undang-undang. Kita dibiarkan berjalan secara autopilot, sedang pihak yang katanya ‘berwenang’ diam saja, sibuk dengan urusan perutnya masing-masing.

Saya mempertanyakan dimana kementerian Komunikasi dan Informasi ketika sedang resah-resahnya dibutuhkan masyarakat. Dimana KPI? Dimana presiden? Colek Bapak Tifatul Sembiring, Bapak Judhariksawan, juga Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat-sangat terhormat.

Mulai dari kasus Tabloit Obor Rakyat, Stasiun-stasiun Televisi yang melanggar sendiri etika jurnalistik yang seharusnya digenggamnya sebagai pilar (televisi yang tendensius pada masing-masing capres idolanya), serta tayangan televisi yang tak terkontrol. Kasus yang saat ini sedang marak di media sosial adalah acara YKS yang disebut melecehkan seniman serba bisa (alm) Benyamin Sueb. Tapi lebih fokusnya saya menyayangkan etika para penganut jurnalistik yang justru melanggar kode etik-nya.

Pertama apakah jurnalistik itu?

Jurnalistik adalah kegiatan meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Sebuah tulisan saya tafsir harus memenuhi etika sebelum ia bisa disebut sebagai produk jurnalisme. Kalau tidak, sebut saja tulisan itu dongeng belaka.

Kode etik Jurnalistik adalah landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Disepakati di Jakarta, Selasa 14 Maret 2006 oleh 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia.

Beberapa pasal dalam Kode Etik Jurnalistik yang tertera di website PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) akan saya tampilkan di tulisan ini. Terutama pasal-pasal yang belakangan banyak dilanggar. Acuan saya adalah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS yang didalamnya tertera uraian Kode Etik Jurnalistik tersebut. Mohon ingatkan saya bila salah atau sudah terdapat undang-undang baru sebagai acuan.

Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap INDEPENDEN, menghasilkan BERITA YANG AKURAT, BERIMBANG, dan TIDAK BERITIKAD BURUK.

Berapa banyak berita, baik televisi-koran-media elektronik, yang tiap hari mencekoki kita dengan berita yang melanggar pasal ini. Kantor Berita tidak independen (TV-ONE, MNC, GLOBAL, RCTI, METRO TV dan Koran elektronik anakannya) menghasilkan berita yang berat sebelah—cenderung menyerang capres idola lawan, juga beritikat buruk untuk menurunkan citra.

Akurat juga berarti berita dpat dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Ada juga pasal 3 yang mewajibkan wartawan Indonesia selalu menguji informasi, tidak mencampurkan fakta dan opini, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah. Ada sebuah kasus dimana sebuah televisi yg saya sebut di atas menayangkan berita palsu mengenai survey calon presiden oleh CNN, yang sebenarnya itu adalah berita survey Barack Obama tempo dulu. Berita itu di copas begitu saja dan diganti subyeknya. Wadalah.. ini media apa tidak takut kehilangan kepercayaan masyarakat?

Pasal 8: Wartawan Indonesia TIDAK MENULIS ATAU MENYIARKAN BERITA BERDASARKAN PRASANGKA ATAU DISKRIMINASI terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Tahu kan yang saya maksud: Tabloid Obor. Tapi oleh PWI tabloid ini tidak dimasukkan dalam produk jurnalistik karena tidak memenuhi kaedah kode etik. Lalu dia ini tabloid macam apa? Calon bungkus kacang saya rasa. Atau memang penulisnya ini mengulas full opini penyesat yang harus ditindak. Sebagai catatan tabloid ini juga tidak menulis alamat dan pimred secara terbuka sehingga tidak memenuhi unsur sebagai media (yang diperbolehkan) cetak. Lalu kenapa edisi ke III nya masih beredar di Jember minggu ini….

Saya mengagumi profesi wartawan. Menurut saya, menjadi wartawan adalah profesi yang sangat tangguh juga bernyali. Wartawan ‘sejati’ mampu menghadirkan ulasan yang mencerahkan, meluruskan isu miring serta mengungkap kebenaran di balik peristiwa terselubung. Tulisan mampu mengubah persepsi dan sikap pembacanya terhadap suatu persoalan. Tapi, kenyataannya belakangan ini, profesi wartawan sebagian hanya menjadi roda dari sebuah industri money-minded yang justru menciptakan kekaburan informasi. Berita dipelintir, prasangka diolah seolah menjadi masalah nyata, tidak berimbang dengan independensi yang meragukan.

Saya bukan wartawan. Saya hanya punya akun di media jurnalisme warga. Meskipun begitu saya juga bisa baca kode etik jurnalistik yang tertera di website Persatuan Wartawan Indonesia. Apa perlu, anak bau kencur seperti saya harus menyentil anda para wartawan untuk menengok lagi pilar pegangan anda. Apakah anda-anda yang digaji penuh sebagai penyandang profesi wartawan mau begitu saja menjual integritas anda?

Kode Etik Jurnalistik untuk apa? Bukankah kode etik yang tertera dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS telah mengantarkan dunia jurnalistik Indonesia ke arah kemerdekaannya kembali. Melindungi penggiat jurnalistik dari pembredelan. Kenapa mau enaknya tapi nggak mau detail ribetnya? Kode etik jurnalistik ini hanya hiasan atau cuma pandangankah, bukan aturan baku? Lantas kenapa kode etik ini dimasukkan dalam undang-undang. Apa negara ini sudah tidak punya konstitusi? Mau ke arah mana kita kalau konstitusi saja tidak dianggap.

Saya bingung harus mengadu kemana. Apa iya saya hanya bisa menggerutu dan curhat sama Tuhan. Mana presiden saya? Kalau banyak orang yang menyalahi aturan, bukan berarti tindakan mereka bisa dibenarkan. Kalau para pelaku jurnalistik ini ramai-ramai membredeli pedoman moral mereka, bukan berarti tindakan mereka ini lantas dianulir dan dianggap hal biasa begitu saja.

Mohon pencerahannya :’/
Baca lengkap Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang
REPUBLIK INDONESIA 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun