[caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="Rumah ramah lingkungan berpanel surya"][/caption] Pertama, saya ingin berdiskusi dengan kawan – kawan Kompasianer tentang masalah energi dan sumber penghasil energinya. Heran tidak bila saya katakan bahwa permasalahan energi sudah dicetuskan bahkan sejak sekitar seratus tahun silam. Adalah Alexander Graham Bell pada tahun 1917 yang mengatakan pada komunitas akademisi bahwa cadangan bahan bakar fosil dunia menjelang habis. Pada jaman itu Ia telah memberi gagasan awal tentang etanol dari jagung dan bahan pangan lain yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti batu bara dan minyak bumi.
Menjelang habisnya cadangan bahan bakar fosil dunia saya kira bukan lagi menjadi isu karena banyak ahli dan ilmuan yang mengungkapkannya. Tentu para ahli tersebut tidak mau kehilangan kredibilitas dengan mengatakan kebohongan kan? Dari berbagai sumber, cadangan minyak dunia hanya cukup untuk menyokong 100 tahun kehidupan di bumi. Itupun hanya di beberapa negara dengan cadangan minyak yang masih cukup seperti Kuwait, Iran, dan Kanada.
Karenannya saya ingin berbagi ide dengan kawan – kawan di sini untuk memberi solusi permasalahan energi di bumi. Saya memikirkan tentang kemandirian energi. Apa dan bagaimana kemandirian energi yang saya maksudkan? Mari simak penjelasan saya secara runut mulai dari latar belakang permasalahan hingga solusi.
BERAPA JUMLAH ENERGI YANG KITA BUTUHKAN?
Semua kebutuhan energi bisa dicerminkan dari kebutuhan satu rumah tangga. Satuan rumah tangga paling masuk akal untuk dihitung, karena menghitung kebutuhan energi personal akan sangat bervariasi. Mudahnya mari kita hitung kebutuhan listrik kita.
Dalam beberapa artikel yang saya kumpulkan, satu hari rumah tangga ekonomi menengah dengan peralatan standar seperti televisi, rice cocker, kulkas, pendingin ruangan (AC), setrika, laptop dan komputer membutuhkan listrik sekitar 3,91 kWh. Satu bulan memerlukan energi listrik 117,30 kWh.
Sedangkan kebutuhan bahan bakar lain seperti gas dan bensin saya akan berkaca pada diri sendiri. Satu rumah minimal menghabiskan dua tabung gas tiga kilogram dalam satu bulan, sedangkan bensin dalam satu minggu membutuhkan sekitar lima liter dengan aktivitas sepeda motor yang tidak terlalu jauh.
Misalkan saja di Kota Malang, karena saat ini saya sedang berada di Malang, memiliki jumlah KK (Kepala Keluarga) sebanyak 200962. Maka Kota Malang dalam satu bulan membutuhkan energi listrik sebanyak 23.572.842,6 kWh dan bahan bakar gas sebanyak 1.205.772 kilogram. Sedangkan bensin sepeda motor bisa diasumsikan tiap KK minimal memiliki satu sepeda motor maka dalam satu bulan membutuhkan minimal 1.004.810 liter. Di sini saya tidak memasukkan perhitungan pertamax untuk pengguna mobil karena saya belum tahu perhitungan kebutuhannya.
Kebutuhan versus suplai. Katakanlah listrik Kota Malang yang sudah saya gambarkan sebelumnya dengan kebutuhan per bulannya mencapai 23 juta kWh lebih. Sedangkan kita lihat Bendungan Karangkates di Kabupaten Malang sebagai salah satu penyuplai energi yang konon dapat menghasilkan listrik 400 juta kwh per tahun atau rata-rata per bulan 33 juta kWh. Belum lagi terkait pendangkalan waduk dan berkurangnya debit air yang juga mempengaruhi produksi listrik hingga hanya 29 juta kWh per bulan.
Sangat tipis kan kalau kita melihat antara kebutuhan (yang hanya Kota Malang) dengan suplai. Padahal Pembangkit Listrik Karangkates produksi listriknya tidak hanya diperuntukkan untuk Kota Malang saja.
Ini masih perhitungan sederhana yang dimulai dari rumah, dimulai dari satu kota. Bagaimana dengan kota atau daerah lain? Dan Bagaimana dengan kebutuhan energi lain?
KEMANDIRIAN ENERGI
[caption id="" align="alignleft" width="328" caption="instalasi biogas"][/caption] Sebenarnya masalah energi tentu bukan hanya masalah kebutuhan listrik, tapi tentu saja kembali lagi ke masalah bahan bakar. Melihat dari berbagai wacana tentang sumber energi alternatif, sepertinya dunia ini tak akan kehabisan solusi. Tapi beranikah dunia meninggalkan kebiasaan konsumsi energi fosil sebelum terlambat, habis.
Saya mengusulkan kemandirian energi yang diaplikasikan pada satu rumah tangga. Maksudnya adalah sebuah rumah tangga yang dapat terbebas dari penggunaan bahan bakar fosil atau bahan bakar lain yang kurang ramah lingkungan. Saya menyebutnya Eco-House.
Idenya terinspirasi dari Hukum Termodinamika I yang biasanya disebut hukum kekekalan energi. Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan tapi hanya dapat dikonversi dari suatu bentuk ke bentuk lain. Saya memimpikan sebuah rumah yang dapat membuat siklus energinya sendiri dan dapat mengelola limbah rumah tangganya dengan baik untuk konservasi lingkungan.
Sebuah konsep Eco-House membutuhkan perancangan desain rumah yang mendukung kemandirian energinya karena lingkungan rumah ini akan menggabungkan antara penggunaan panel surya, instalasi biogas, pengelolaan limbah rumah tangga, dan desain ramah lingkungan.
Satu lingkungan rumah memiliki solar cell yang dapat memproduksi listrik dari sinar matahari. Katakanlah kita membutuhkan delapan panel surya berkapasitas 100 wp (watt peak) yang dapat menghasilkan energi listrik 4000 watt dengan daya serap sinar matahari 5 jam, sesuai dengan waktu penyinaran matahari di Indonesia. Untuk lebih efisien, maka penggunaan listrik sebaiknya dilakukan menjelang malam.
Karena penggunaan listriknya di malam hari maka Eco-House harus memiliki desain yang memudahkan banyak cahaya menyinari ruangan di kala siang. Misalkan dengan banyaknya kaca tembus pandang dan ruang terbuka.
Untuk kebutuhan memasak bisa memanfaatkan instalasi biogas. Pada prinsipnya instalasi ini memfermentasi kotoran dengan mikroba tertentu sehingga diproduksi metana. Gas metana inilah yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar memasak.
Ada dua cara, misalkan satu dengan memelihara sapi perah yang pengelolaan limbah kotorannya dapat dimanfaatkan untuk instalasi biogas, atau dengan instalasi biogas dari kotoran manusia. Instalasi biogas dari kotoran manusia sudah bisa diterapkan, terbukti sudah ada yang menggunakannya di beberapa pondok pesantren.
Mengapa saya tidak mengusulkan etanol? Karena pengolahan etanol akan lebih murah dalam skala besar daripada skala rumah tangga. Selain itu, kita masih memiliki isu pangan yang nantinya akan bertabrakan. Etanol dapat dihasilkan oleh bahan pangan seperti tebu, jagung, dan ketela. Karenanya pembuatan Etanol memerlukan lahan tanam dan pengolahan. Belum lagi terkait limbah etanol seperti vinase yang bila tak dikelola dengan baik akan mencemari lingkungan. Tentu akan kontraproduktif dengan maksud Eco-House. Berbeda dengan biogas yang memang memanfaatkan limbah yang tidak mungkin lagi dipakai, yaitu kotoran, untuk menghasilkan metana.
Dan yang terakhir, Eco-House harus memiliki instalasi pengelolaan limbah rumah tangga. Meskipun sederhana, seperti pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos. Dengan demikian harapannya tidak ada satu bagian rumah yang tidak memiliki fungsi demi mewujudkan siklus dan kemandirian energi. Tak perlu lagi membeli energi.
BENARKAH SEMUDAH ITU?
[caption id="" align="alignleft" width="303" caption="kunang-kunang dalam toples"][/caption]
Tentu saja tidak. Mewujudkan sebuah rumah Eco-House membutuhkan biaya dan pengetahuan yang tidak sedikit. Misalkan untuk membuat instalasi biogas dan panel surya. Belum lagi beberapa kelemahan dari instalasi tersebut.
Instalasi Biogas dengan memanfaatkan kotoran manusia bermasalah bila kita ingin membersihkan toilet dengan desinfektan yang kemungkinan dapat membunuh mikroba di dalam instalasi. Sedangkan panel surya tidak semudah yang kita bayangkan. Dibutuhkan baterai yang tidak mudah soak karena selama ini beberapa kali saya menemui aki untuk panel surya tiap tahun harus ganti. Tentu hal itu membuat pemasangan panel surya lebih mahal meskipun konon dapat bertahan hingga 20 tahun.
Kemandirian energi adalah mutlak diperlukan. Memang sebuah konsep Eco-House sangatlah mahal, tapi benar-benar mungkin. Bayangkan saja bila semua rumah sudah dapat membuat siklus energinya sendiri tanpa bergantung pada bahan bakar fosil.
Bila memang kita belum siap mewujudkan kemandirian energi, alangkah baiknya bila kita memiliki kebiasaan yang baik untuk sama-sama berhemat. Hemat energi listrik, hemat air, dan hemat bensin. Dengan begitu, kita bisa mengundur waktu habisnya cadangan energi kita. Apakah kita hanya akan berpangku tangan, tetap menikmati bahan bakar fosil tanpa keresahan?
Jika semua hal telah dicoba mulai dari kemandirian energi dan penghematan tapi tetap tidak berhasil, maka mungkin kita sebaiknya mulai memelihara kunang-kunang. Menaruhnya dalam toples yang diletakkan di sudut remang ruangan agar rumah kita bisa mendapat cahaya tanpa makan banyak biaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H