Di sebuah ruangan penuh cahaya temaram, sekelompok orang duduk di meja pesta yang dipenuhi makanan lezat. Tapi bukan sembarang makanan. Di tengah meja, ada sebuah kue besar yang tampak begitu menggiurkan, kue yang disebut-sebut hanya ada sekali dalam 5 tahun. Baunya harum, lapisan krimnya tebal, dan potongan buahnya bersinar bagai permata. Semua yang hadir di sana tahu, ini bukan sekadar kue biasa.
Senyum tersembunyi menghiasi wajah Pak Dirga, seorang pria paruh baya yang duduk di ujung meja. Ia memainkan garpunya dengan pelan, menunggu saat yang tepat. Semua mata menatapnya, bukan karena rasa hormat, tapi lebih karena penasaran, bagaimana ia akan memulai. Pak Dirga terkenal dengan potongan kue yang "tepat sasaran"---tepat untuk dirinya sendiri, tentu saja.
"Bagaimana kalau kita mulai pembagian?" ucapnya pelan, namun nadanya tegas, seperti biasa.
"Ah, tentu saja," jawab Bu Rina, wanita dengan pesona ratu, matanya berkilau penuh ambisi, dan senyumnya menutupi gelombang hasrat yang tak terpuaskan, siap meraih segalanya tanpa ragu, yang duduk tidak jauh dari kursi Pak Dirga. Suaranya lembut, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum manisnya. "Tentu saja kita semua di sini untuk berbagi, bukan?"
Pak Fajar, yang duduk sedikit lebih jauh, tertawa kecil. "Berbagi? Maksudmu, kau ingin bagian lebih besar lagi, Bu Rina?"
Bu Rina tidak menjawab, hanya tersenyum. Senyum yang terlalu manis untuk dipandang lama-lama.
Mereka pun mulai memotong kue itu. Pak Dirga mengambil pisau besar dan dengan ahli memotong bagian yang paling tebal. "Ini bagian untuk kita semua," katanya sambil meletakkan potongan besar di piringnya. "Tapi tentu saja, harus cukup untuk semua orang."
Pak Fajar tertawa pelan. "Semua orang? Maksudmu, semua orang yang duduk di ujung meja?"
"Tentu saja," balas Pak Dirga dengan senyum diplomatis. "Ini soal prioritas."
Bu Rina, yang diam-diam sudah memotong bagian kuenya sendiri, mengambil piring dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Saya kira ini bagian yang adil," katanya, tanpa menunggu persetujuan siapa pun.
Di sisi lain meja, Tono, pria muda yang baru pertama kali diundang ke perjamuan ini, menatap kue dengan cemas. Piringnya masih kosong, sementara para tamu lainnya sudah sibuk dengan bagian mereka masing-masing. Dia menggaruk-garuk kepala, tak tahu harus bagaimana. "Eh, apakah masih ada tersisa untukku?"
Pak Dirga menatap Tono sejenak, lalu kembali sibuk dengan kuenya. "Oh, tentu saja, tentu saja. Setiap orang akan mendapatkan bagian yang... sepadan."
Tono tersenyum tipis, tapi hatinya masih berdebar. Dia tak bisa memastikan apa arti 'sepadan' di sini. Sementara itu, potongan kue di tengah meja semakin menipis, meskipun tak seorang pun terlihat mau repot-repot membagikan sisanya.
Lampu di ruangan tiba-tiba berkedip-kedip, dan sejenak, suasana berubah jadi aneh. Beberapa orang di meja tampak berhenti sejenak, menatap piring mereka yang hampir kosong. Pak Fajar terkekeh pelan, "Sepertinya lilin kita akan padam sebelum pesta benar-benar dimulai."
Bu Rina menggelengkan kepala, "Oh, Fajar, selalu saja kau melihat yang gelap. Kita masih punya banyak lilin, asalkan tahu di mana menyalakannya."
Pak Dirga meletakkan garpunya dan menyandarkan punggungnya di kursi. "Yah, toh kue ini memang tak pernah habis, asal kita tahu cara memotongnya."
Tono menatap piringnya yang kosong, sementara para tamu lainnya sudah mulai berdiri, puas dengan potongan masing-masing. Mereka tersenyum, berjabat tangan, dan meninggalkan ruangan dengan langkah ringan. Tono hanya duduk, memandangi meja yang kini hampir kosong, kecuali beberapa remah-remah yang tersisa.
Ia tahu, pesta sudah selesai. Tapi entah kenapa, perutnya masih lapar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H