Di sisi lain meja, Tono, pria muda yang baru pertama kali diundang ke perjamuan ini, menatap kue dengan cemas. Piringnya masih kosong, sementara para tamu lainnya sudah sibuk dengan bagian mereka masing-masing. Dia menggaruk-garuk kepala, tak tahu harus bagaimana. "Eh, apakah masih ada tersisa untukku?"
Pak Dirga menatap Tono sejenak, lalu kembali sibuk dengan kuenya. "Oh, tentu saja, tentu saja. Setiap orang akan mendapatkan bagian yang... sepadan."
Tono tersenyum tipis, tapi hatinya masih berdebar. Dia tak bisa memastikan apa arti 'sepadan' di sini. Sementara itu, potongan kue di tengah meja semakin menipis, meskipun tak seorang pun terlihat mau repot-repot membagikan sisanya.
Lampu di ruangan tiba-tiba berkedip-kedip, dan sejenak, suasana berubah jadi aneh. Beberapa orang di meja tampak berhenti sejenak, menatap piring mereka yang hampir kosong. Pak Fajar terkekeh pelan, "Sepertinya lilin kita akan padam sebelum pesta benar-benar dimulai."
Bu Rina menggelengkan kepala, "Oh, Fajar, selalu saja kau melihat yang gelap. Kita masih punya banyak lilin, asalkan tahu di mana menyalakannya."
Pak Dirga meletakkan garpunya dan menyandarkan punggungnya di kursi. "Yah, toh kue ini memang tak pernah habis, asal kita tahu cara memotongnya."
Tono menatap piringnya yang kosong, sementara para tamu lainnya sudah mulai berdiri, puas dengan potongan masing-masing. Mereka tersenyum, berjabat tangan, dan meninggalkan ruangan dengan langkah ringan. Tono hanya duduk, memandangi meja yang kini hampir kosong, kecuali beberapa remah-remah yang tersisa.
Ia tahu, pesta sudah selesai. Tapi entah kenapa, perutnya masih lapar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H