Malam itu langit tampak seperti layar bioskop yang lupa dinyalakan. Gelap. Sepi. Aku duduk di teras rumah kecil ini, menyesap teh, sambil memikirkan masa-masa ketika hidup kami penuh dengan tawa dan khayalan tanpa batas. Dan tentu saja, ada Rita, kakakku yang kala itu merasa paling tahu segala hal tentang menjadi dewasa. Siapa yang menyangka bahwa khayalan masa kecilnya tak akan pernah berhadapan dengan kenyataan yang sebenarnya?
Dulu, setiap sore, halaman rumah menjadi panggung permainan. Kami bermain rumah-rumahan di bawah pohon mangga tua yang berdiri dengan sabar di tengah halaman. Kami membangun dunia kami sendiri dari kursi plastik dan meja kayu reyot. Dalam permainan itu, Rita adalah segalanya, ibu rumah tangga yang sibuk, juru masak kelas dunia, hingga CEO di kantornya sendiri. "Kamu tamu ya, tugasmu cuma duduk. Aku yang ngatur di sini," ujarnya sambil mengatur daun-daun kering yang ia sebut 'steak ala Prancis.'
Malam itu, suara tertawanya masih terngiang di telingaku. Kami tak pernah bosan memerankan kehidupan dewasa versi kami. "Kalau nanti aku punya rumah, aku bakal bikin aturan sendiri. Ayah sama Bunda nggak bakal ikut campur. Aku bakal hidup bebas!" katanya penuh semangat, dengan kepalan tangan di udara seperti seorang pejuang yang baru meraih kemenangan.
Ketika beranjak remaja, impian Rita untuk hidup mandiri semakin kuat. Ia sering bersitegang dengan Ayah dan Bunda, bahkan tentang hal-hal kecil seperti siapa yang harus mencuci piring atau mengatur channel TV. "Nanti kalau aku punya rumah, semuanya akan sesuai kemauanku!" serunya suatu malam setelah berdebat panjang. Aku hanya bisa tertawa kecil, membayangkan kakakku itu benar-benar menjadi penguasa di rumah impiannya.
Dan waktu berlalu. Rita akhirnya benar-benar punya rumah sendiri. Tapi rumah itu tak seperti istana dalam khayalan kami dulu. Hari itu, aku mengunjunginya. Pintu rumahnya berderit saat dibuka, dan aku disambut oleh wajah yang dulu penuh tawa, kini terlihat lelah. Garis-garis halus di wajahnya menandakan perjuangan yang jauh dari yang pernah ia bayangkan.
"Masuk, masuk," katanya, suaranya tak lagi penuh semangat seperti dulu. Aku melangkah masuk ke ruang tamu yang dipenuhi dengan tumpukan baju yang belum disetrika, setumpuk piring di bak cucian, dan bunyi suara mesin cuci yang menderu dari dapur sempit.
"Mana aturan-aturan yang dulu kamu sering omongin?" tanyaku sambil menyeringai kecil, mencoba menghangatkan suasana. Rita tertawa pendek, getir, seperti menertawakan mimpi masa kecil yang perlahan hancur diterpa kenyataan.
"Kamu tahu?" katanya sambil menatapku, "Hidup ini ternyata jauh lebih berat dari yang kita kira dulu. Dulu aku pikir, menjadi dewasa itu artinya bisa bebas bikin aturan sendiri. Sekarang? Aku bahkan nggak punya tenaga buat bikin aturan. Hari-hariku cuma tentang bertahan. Tentang bagaimana bisa melewati hari ini tanpa merasa jatuh terlalu dalam."
Aku terdiam. Kak Rita yang dulu begitu kuat, begitu penuh semangat, kini tampak rapuh. Tawa yang dulu selalu menghiasi wajahnya kini tertelan oleh kelelahan dan ketidakpastian.
"Aku kangen sama kita yang dulu," ucapnya pelan. "Waktu semuanya masih sederhana. Ketika hidup cuma soal bermain rumah-rumahan dan masak-masakan dari daun kering. Sekarang, aku cuma ingin punya waktu untuk duduk tanpa harus memikirkan apa yang harus aku lakukan besok. Dulu aku pikir, dewasa itu menyenangkan. Ternyata...."