Berjalan kaki di Malang kini bukan lagi sekadar aktivitas santai, melainkan ujian mental dan fisik. Trotoar yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pejalan kaki berubah fungsi secara semena-mena: motor parkir sembarangan, pedagang kaki lima buka lapak, hingga barang-barang tak teridentifikasi yang menghalangi jalan. Ironisnya, pejalan kaki justru dipaksa turun ke jalan raya, bertarung dengan kendaraan yang melaju tanpa ampun. Lalu, kalau terjadi kecelakaan, siapa yang disalahkan? Pejalan kaki yang terpaksa melanggar aturan, atau mereka yang merampas hak atas trotoar?
Di kota yang digadang-gadang ramah wisatawan ini, trotoar justru menjadi simbol ketidakpedulian terhadap hak warganya sendiri. Trotoar seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman bagi pejalan kaki, tetapi di Malang, ia lebih sering berubah menjadi tempat parkir motor gratis atau lokasi dagangan musiman. Tak jarang, trotoar tampak lebih berfungsi sebagai area serbaguna untuk segala keperluan selain berjalan kaki. Pejalan kaki? Silakan jalan di tempat lain, atau kalau bisa, jalan di atas awan.
Trotoar yang Berubah Fungsi
Fenomena ini bukan cerita baru. Di beberapa wilayah Malang, seperti sekitar pusat kota dan kawasan kampus, motor-motor parkir berderet di trotoar, memaksa pejalan kaki untuk mencari jalan lain. Dalam kondisi tertentu, turun ke jalan raya menjadi satu-satunya opsi, meskipun itu berarti mempertaruhkan keselamatan. Parkir liar di trotoar bukan sekadar pelanggaran kecil. Bagi ibu hamil, lansia, atau anak-anak, kondisi ini bisa berbahaya. Bayangkan harus berjalan di tengah arus lalu lintas hanya karena trotoar yang seharusnya menjadi hak mereka telah direbut oleh motor atau pedagang. Lebih menyakitkan lagi, tidak ada pengawasan maupun tindakan tegas dari pihak berwenang untuk mengatasi masalah ini.
Pejalan Kaki: Warga Kelas Dua di Malang
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa pejalan kaki tidak dianggap sebagai prioritas. Di kota yang terus berkembang ini, trotoar seolah menjadi properti bersama yang bisa digunakan siapa saja, kecuali pejalan kaki. Entah itu untuk tempat parkir motor, lapak pedagang, atau bahkan sekadar menumpuk barang, semua tampak lebih "berhak" atas trotoar daripada mereka yang hanya ingin berjalan kaki dengan tenang. Pemerintah sering kali menggembar-gemborkan visi Malang sebagai kota yang ramah dan berbudaya, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Trotoar yang penuh sesak oleh aktivitas tak semestinya justru mencerminkan minimnya perhatian terhadap kenyamanan warga. Jika trotoar saja diabaikan, bagaimana mungkin Malang bisa disebut kota yang peduli?
Saatnya Berubah
Trotoar adalah cerminan tata kelola sebuah kota. Ia bukan sekadar fasilitas publik, tetapi juga simbol kepedulian pemerintah terhadap warganya. Jika kota ini benar-benar ingin disebut ramah wisatawan dan nyaman bagi semua, perbaikan trotoar harus menjadi prioritas utama. Pengawasan dan penegakan aturan perlu dilakukan dengan tegas. Pemerintah harus berani menertibkan parkir liar dan pedagang yang menggunakan trotoar secara sembarangan. Namun, perubahan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Warga Malang juga memiliki peran penting. Kesadaran untuk menghormati hak sesama pengguna jalan perlu ditingkatkan. Jangan hanya memikirkan kenyamanan pribadi dengan mengorbankan hak orang lain.
Malang adalah kota yang penuh potensi, tetapi perkembangan tanpa perhatian terhadap detail kecil seperti trotoar hanya akan meninggalkan kesan buruk. Kita semua ingin Malang menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali dan dikunjungi. Dan itu bisa dimulai dari hal sederhana: mengembalikan trotoar kepada fungsi utamanya. Sebuah kota yang maju adalah kota yang menghargai setiap warganya, termasuk pejalan kaki.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI