Mohon tunggu...
Ayusia Kusuma
Ayusia Kusuma Mohon Tunggu... -

I am, a simple me in my complicated life\r\n\r\nTwitter: @a_sabhita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengawali Perbincangan tentang Pemberdayaan Pemuda

21 Agustus 2011   04:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:35 2373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara teoritikal, pemberdayaan (empowerment) adalah ragam pendekatan dan aplikasi konstruktif yang bersifat multi-level, sebagai hasil dari interaksi individual, sosial dan kolektif. Dalam arti yang luas, pemberdayaan mengacu pada ragam indikator, yaitu: individu, keluarga, organisasi dan komunitas, yang mendapatkan akses sekaligus kontrol dalam konteks sosial, ekonomi dan politik, yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan sosial dan kualitas (equity and quality) hidup (Rappaport, 1984; Rappaport, 1987; Zimmerman, 2000 dalam Jennings et al; 32). Berdasarkan pada indikator-indikator tersebut, berbagai program pemberdayaan (pemuda) memiliki dua fungsi utama: pertama, program ini berfokus untuk merubah dalam level individu, khususnya dalam hal pemberdayaan psikologi dalam pembangunan kapasitas pribadi (capacity-building), mengintegrasikan persepsi-persepsi kontrol dan kendalinya, pendekatan yang proaktif dalam kehidupan, dan pemahaman yang kritikal dalam lingkungan sosial dan politik. Sedangkan pemberdayaan dalam level kolektif berlaku atau terjadi di dalam keluarga, organisasi, dan komunitas, dimana melibatkan proses dan sistem yang dapat meningkatkan keahlian atau kemampuan anggota-anggotanya, memfasilitasi mereka dalam upaya-upaya perubahan, meningkatkan kesejahteraan kolektif mereka, dan memperkuat jaringan intra serta ekstra- organisasi untuk memperkuat kualitas dari intregrasi kolektif tersebut.(ibid, 33-34).

Masih berdasarkan Jennings et al (2006; 34-40) ada beberapa Model Pemberdayaan Pemuda:


  1. AEC (Adolescent Empowerment Model) oleh Chinman & Linney (1998) yang berbasis pada disiplin ilmu psikologi tentang perkembangan remaja dan pemuda. Model pemberdayaan ini menyebutkan bahwa pengakuan positif dari masyarakat akan meningkatkan kedewasaan, harga diri, menghindarkan mereka dari masa krisis identitas dan perasaan tak berguna serta memacu perkembangan pola pikir yang positif. Kematangan mental ini berguna terutama dalam pengembangan jiwa kepemimpinan, penguasaan ketrampilan, dan bekerjasama dalam aksi-aksi sosial.
  2. YD&E(Youth Development and Empowerment Program Model)oleh Kim & Colleagues (1998): Tujuan Pengembangan dan Pemberdayaan Pemuda (YD & E) ini adalah dalam rangka pencegahan dari penyalahgunaan obat terlarang dan perilaku yang beresiko, agar pemuda melakukan hal yang bermakna dalam proyek pelayanan masyarakat. Kunci YD & E adalah peningkatan hubungan sosial yang positif dan persiapan untuk partisipasi dan keterlibatan pemuda dalam komunitas di bidang sosio-ekonomi dan publik. Prinsip utama dari YD & E adalah pengakuan bahwa kaum muda adalah aset dan sumber daya harus dipanggil untuk berpartisipasi dalam komunitas dan juga isu - isu keuangan. Dalam proyek pelayanan masyarakat, menjadi peluang yang signifikan bagi pemuda untuk belajar keterampilan untuk bekerja, termasuk melibatkan proses konsultasi, pertanggungjawaban, dan kemampuan dalam memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
  3. (TP) The Transactional Partnering Model oleh Cargo et al (2003). Model ini dikonseptualisasikan sebagai proses transaksional kemitraan bersama antara masyarakat dan pemuda. Kuncinya di tangan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan memfasilitasi pemuda untuk berkarya. Namun, pemuda juga mesti memiliki kemampuan dan pengetahuan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam perubahan di komunitas. Pemuda ikut memetakaan isu, membentuk rencana aksi dan solusi implementasi. Pemuda diharapkan-dari pengalamannya- mendapatkan hasil dalam bentuk kepercayaan diri, kompetensi, kualitas pribadi, mental kepemimpinan dan juga kemampuan bekerjasama melalui partisipasinya. Namun hal ini tidak hanya berorientasi pada hasil, apa aktivitas atau proyek apa yang dilakukan pemuda, namun proses yang men-support pemberdayaan pemuda tersebut yang ditekankan, “a healthful adaptation of youth to confronting challenges associated with directing a youth-defined agenda”.
  4. EE(The Empowerment Education Model) oleh Freire (1970). Premis utama dari model ini ialah pendidikan yang mencerahkan dan membebaskan. Sebuah proses yang melibatkan dialog dan diskusi yang terbuka dan kritis, berikut aksi yang reflektif. Dalam mengembangkan program pemberdayaan pemuda, Wallerstein, Sanchez-Merki,  dan Velarde (2005) menghubungkan konsep Freire tersebut dalam konsep dan praktiknya dengan teori protection-motivation behavior change. Hasil dari EE ini meningkatkan keahlian atau skill dan pengetahuan yang men-support usaha-usaha pemuda menuju aksi menuju perubahan sosial, utamanya dimulai dari  pemberdayaan diri pribadi ke dalam pengorganisiran masyarakat atau komunitas.

Sedangkan dari perspektif Kritis Pemberdayaan Pemuda sendiri, ada enam dimensi yang menjadi syarat dari berhasilnya proses pemberdayaan pemuda:

1.      Lingkungan yang ramah dan aman

2.      Keterlibatan dan komitmen

3.      Distribusi kuasa yang adil (tidak membeda-bedakan)

4.      Keterlibatan terhadap refleksi kritis dalam proses interpersonal dan sosial politik

5.      Keterlibatan secara sosial politik untuk melakukan perubahan,dan

6.      Terintegrasi dalam pemberdayaan di level individual dan masyarakat

KONDISI DI YOGYAKARTA

Sebagai kota pelajar, kota budaya dan kota pariwisata, Yogyakarta menjadi daerah yang sangat dinamis, multikultural, kompleks dan menjadi hunian yang nyaman bagi semua orang dengan segala perbedaan latarbelakang dan karakteristiknya (umur, tingkat pendidikan, budaya, status sosial-ekonomi, agama, suku bangsa). Sebagai kota yang bisa disebut sebagai muara dari berbagai perbedaan tersebut, beragam gesekan dan permasalahan dalam relasi interpersonal atau relasi sosial adalah niscaya adanya. Terutama dalam era globalisasi sekarang ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dibarengi dengan kesadaran dan tanggungjawab sosial kemasyarakatan, akan menimbulkan permasalahan dan bahkan kejahatan intelektual. Belum lagi, dengan serbuan informasi serta masifnya pengadopsian nilai-nilai dan budaya Barat dengan tanpa mengindahkan pijakan nilai dan identitas diri, menimbulkan krisis identitas yang berbanding lurus dengan usaha pemberdayaan diri kepada lingkungan atau komunitas masyarakat.

Pemikiran-pemikiran kritis yang kreatif kemudian, diharapkan dapat membentengi pemuda dari berbagai pengaruh negatif dampak globalisasi tersebut. Bukan hanya di level nasional, tapi juga di level daerah, dikarenakan dampak globalisasi yang luas dan lintas territorial, permasalahan di kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya pun menjadi tantangan bagi para pemuda yang diasumsikan “terdidik dan berbudaya”. Dalam hal ini, pemuda menjadi penggerak utama, agen sosial, dan subyek yang menentukan dalam perumusan strategi pembangunan daerah.

Kita ketahui bahwa strategi pembangunan yang (hanya) memusatkan perhatian kepada akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak utama kemajuan maupun sebagai pendorong kesejahteraan sosial telah banyak dikritik (Lilhat misalnya, Arndt, 1989; 49-87). Sehingga kritik tersebut membentuk pergeseran ide dalam strategi pembangunan; dari upaya peningkatan kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi, menjadi peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia untuk menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan. Pusat perhatian dalam pembangunan akhirnya tidak semata berbentuk modal fisik (kapital dan sumber daya alam) namun yang paling penting ialah sumber daya manusia. (Effendi, 1995; 31). Sekilas mengenai definisi pengembangan sumber daya manusia, Menurut UNDP (United Nations Development Programme, 1991), pengertian pengembangan sumber daya manusia dalam kerangka proses pembangunan ialah:

“Pengembangan manusia (sumber daya manusia) adalah proses meningkatkan kemampuan manusia untuk melakukan pilihan-pilihan. Pengertian ini memusatkan perhatian kepada pemerataan dalam peningkatan kemampuan manusia (melalui investasi pada manusia itu sendiri) dan pada pemanfaatan kemampuan itu (melalui penciptaan kerangka keterlibatan manusiauntuk mendapatkan penghasilan dan perluasan peluang kerja.”)

Dari definisi diatas dapatlah disimpulkan, bahwa pengembangan sumber daya manusia mengandung pengertian sebagai upaya untuk meningkatkan keterlibatan dan partisipasi manusia dalam proses pembangunan. Jika dilihat Visi Jangka Menengah Pembangunan DIY, bahwa pemerintah daerah DIY ingin “mewujudkan Pemerintah Daerah yang katalistik dan masyarakat yang mandiri berbasis kekuatan ekonomi lokal dan sumberdaya manusia yang profesional dan beretika”, dalam kaitannya dengan pemuda, maka basis pengembangan SDM di DIY ini ialah untuk meningkatkan partisipasi pemuda dalam pembangunan dan penguatan kemandirian berbasis ekonomi lokal.

Berbagai persoalan dan permasalahan dalam proses pengembangan SDM pemuda dalam pembangunan ini mesti ditelaah dan dipetakan terlebih dahulu untuk mendapatkan suatu kajian yang komprehensif dan solutif. Merujuk Undang-Undang Kepemudaan No. 40 Tahun 2009 (Bappeda, 2010) permasalahan yang menyangkut kepemudaan di DIY dapat dibagi menjadi tiga:


  1. Masalah-masalah mental spritual : berupa sifat materialisme atau hedonisme, pragmatisme,
  2. Masalah-masalah sikap sosial : berupa sikap individualisme dan apatisme
  3. Masalah-masalah Kepemimpinan, Kewirasausahaan dan Kepeloporan : berupa lambatnya kaderisasi,  kurangnya apresiasi masyarakat terhadap kepemudaan, kurangnya minat wirausaha dan kepeloporan pemuda

Padahal, berbicara dan mengkategorikan mengenai  “masalah” dan “potensi” pemuda dalam perspektif politik dan ekonomi, apabila merujuk kepada Mc Laren (2002) ialah tergantung dari pengaruh dominan atau tidaknya institusi-institusi pemerintah dan bagaimana kondisi-kondisi sosial ekonomi yang ada. Dalam hal ini, pemuda harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan dan keadilan sosial. Dengan arti, bagaimana institusi-institusi sosial dan ekonomi, kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek kebijakan di daerah dapat mensupport atau memberi hasil pada pengembangan pemuda secara positif dan sehat.

Dalam arti lain, pemuda mungkin memang mempunyai masalah dalam perilaku, sikap mental, sikap sosial, kepemimpinan, kewirausahaan dan lain sebagainya, namun hal tersebut hanyalah akibat dalam berbagai relasi sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam lingkup daerahnya atau secara lebih besar, negara. Sehingga, seringkali permasalahan-permasalahan tersebut muncul karena tekanan-tekanan ekonomi, sosial dan politik. (Cammarota, 2011; 832). Pemuda sebenarnya mempunyai  aset yang potensial, misalnya kreativiti dan kemampuan intelektual sebagai pelajar, namun untuk meningkatkan dan mengangkat potensi tersebut, mesti diperlukan pengakuan, penghargaan baik dari diri sendiri maupun komunitas, diberi fasilitas-fasilitas yang memadai, ruang berorganisasi, ruang beraktualisasi, dan lebih penting lagi, disertakan dalam berbagai program prembangunan daerah, terutama dalam bidang pendidikan, budaya maupun pariwisata.

REFERENSI:


  1. Arndt, H. W, 1989, Economic Development: The History of An Idea, Chicago, The University of Chicago Press.
  2. Bappeda Provinsi DIY, “Perencanaan Pembangunan Kepemudaan”, Yogyakarta, 9 Mei 2010.
  3. Julio Cammarota, “From Hopelessness to Hope : Social Justice Pedagogy in Urban Education and Youth Development”, Urban Education 46(4), hlm. 828–844, http://uex.sagepub.com/content/46/4/828, diakses26 Juli 2011.
  4. McLaren, P., 2002, Critical pedagogy and predatory culture: Oppositional politics  in a postmodern era. New York, Routledge
  5. Tadjuddin Noer Effendi, 1995, Sumber Daya Manusia: Peluang Kerja dan Kemiskinan, Yogyakarta, Tiara Wacana.
  6. “Toward a Critical Social Theory of Youth Empowerment.” Jennings, Louise B. et al. dalam Journal of Community Practice (The Haworth Press, Inc.) Vol. 14, No.  1/2, 2006, hlm. 31-55; dan: Youth Participation and Community Change (ed: Barry N. Checkoway,  & Lorraine M. Gutiérrez), The Haworth Press, Inc., 2006, hlm. 31-55.
  7. United Nations Development Programme, 1991, Human Development Report, Washington D.C.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun