Secara argumen, perpanjangan masa jabatan kepala desa ini lemah. Apalagi, secara substansif usulan ini mengancam kehancuran demokrasi di Indonesia. Sebab, jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat harus digilir, supaya terhindar dari kecenderungan otoritarian dan potensi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Masyarakat Sebaiknya Pilih Kades yang KompetenÂ
Jika Presiden Jokowi beralasan perpanjangan masa jabatan agar memberikan ruang lebih lama untuk Kades membenahi desa, jelas ini dapat dibantah. Argumentasi itu seolah membenarkan keterpilihannya dalam dua periode ini, bahwa satu periode (5 tahun) menjadi Presiden tidak cukup untuk membangun Indonesia. Padahal dalam 6 tahun masa kepemimpinan kepala desa, dapat melakukan semua program yang ia janjikan tersebut asalkan, terencana dengan sistematik dan jujur. Sehingga, untuk mengkritik alasan ini adalah, masyarakat sebaiknya memilih calon kepala desa yang kompeten.
Kritik dari alasan ini adalah, bukan perkara waktu yang kurang tetapi minimnya kemampuan leadership kepala desa. Kalaupun masa jabatan diperpanjang menjadi 9 tahun, namun masalah substansinya tidak diatasi, maka Kades tetap tak menjalankan program dengan baik dan benar. Sehingga, solusi membenahi desa ini bukanlah memperpanjang masa jabatan tetapi  membenahi kompetensi Kades itu sendiri.
Bagaimana membentuk kepemimpinan kepala desa yang kompeten? Jawaban ini beragam, ada pada pola pikir masyarakat tentang pendidikan yang harus dioptimalkan, sehingga anak-anak di desa dapat menempuh pendidikan yang tinggi dan berkualitas. Atau dapat juga pada sisi kesetaraan, yakni memberikan kesempatan untuk pemuda dan yang berkompeten ikut mencalonkan diri di Pilkades. Seringkali, calon-calon Kades ini berasal dari local strongmen yang memanfaatkan kuasanya untuk terpilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H