Ribuan kepala desa dan aparatur desa berunjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR RI pada Rabu (5/7/2023), mereka mengajukan sejumlah usulan untuk merevisi Undang-Undang tentang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Para Kades itu terang-terangan sebut 6 tahun adalah waktu singkat untuk memimpin sebuah desa, dengan segudang realisasi program yang mereka janjikan. Belum lagi, mereka harus membenahi polemik luka politik yang terjadi di Pilkades.
Mayoritas fraksi di DPR RI Â pun menyetujui revisi Undang-Undang tentang Desa pasal 39, yang mengatur tentang masa jabatan Kepala Desa atau Kades. Mereka sepakat ihwal masa jabatan kades yang sebelumnya 6 tahun dan dapat dipilih 3 kali, direvisi menjadi 9 tahun dan dapat dipilih sebanyak 2 kali.
Dukungan tersebut dilontarkan dalam forum rapat Badan Legislasi penyusunan RUU Desa. Dari 9 fraksi, sebanyak 6 fraksi hadir dan bersepakat menyetujui perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Masa jabatan kepala desa diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang berbunyi (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan; (2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Keinginan para kepala desa untuk perpanjang masa jabatan itu, merupakan tindakan tak biasa dalam sistem negara hukum dan demokrasi.
Meskipun secara hukum dan politik usulan perpanjangan masa jabatan Kades ini dapat dilakukan melalui konsensus para pemangku kebijakan, namun hal tersebut tidak mencermin prinsip dari negara hukum dan demokrasi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah merespons tuntutan dari para kepala desa itu. Dia pun menyatakan setuju untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa. Alasannya, hal itu dapat memberikan para Kades punya waktu untuk memenuhi janji mereka pada saat kampanye.
Sirine Rusaknya DemokrasiÂ
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun berkomentar bahwa rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa ini dapat merusak demokrasi. Ia menyoroti dua argumen kepala desa tentang tuntutan revisi UU Desa ini.
Pertama, argumen jabatan kepala desa selama 6 tahun itu tidak cukup untuk mengatasi konflik politik di antara masyarakat selepas kontestasi pemilihan kepala desa. Ubedilah bilang argumen ini tidak dapat dibenarkan, karena 6 tahun adalah waktu yang lama untuk melakukan beragam hal, termasuk merealisasikan janji-janji kepala desa. Sebab, penduduk rata-rata di desa hanya mencapai angka puluhan ribu.
Kedua, dana untuk Pilkades sebaiknya digunakan untuk pembangunan sumber daya desa. Kata Ubedilah argumen tersebut lemah. Pasalnya, dana untuk Pilkades tersebut telah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya. Dana itu sama sekali tidak mengganggu APBN seperti halnya membangun IKN.