orang. Jika tidak ingin ketinggalan zaman, masyarakat harus mengikuti tren, mengonsumsi keluaran produk industrial terbaru.
Tren ala masyarakat modern, kini menjadi patokan pembuktian nilai setiapSeperti ikut tren fashion, gaya hidup, bahkan kelas ekonomi dipertontonkan. Ini adalah common sense yang terkonstruk sedemikian rupa, melalui tanda yang bertebaran, seperti 'sampah visual' yang terpaksa kita lihat.
Kebenaran umum ini menjadi patokan bahwa, yang dimuat dalam medium adalah yang sebenarnya (fakta -- baik). Sisi paling bahaya adalah, ketika medium digunakan untuk menampilkan visual yang dibuat seolah-olah fakta dan baik, seperti baliho politik atau unggahan kebencian dalam media sosial.
Pada era Karl Marx (1818-1883), orang yang menguasai zaman adalah orang-orang yang memegang kunci-kunci produksi. Namun, hari ini, tidak ada gunanya di masyarakat, orang yang mempunyai harta berlimpah namun konsumsinya sangat biasa. Manusia hanya akan mempunyai status sosial jika konsumsinya mewah, biarpun secara tataran masyarakat, orang tersebut dalam kelas menengah ke bawah, bukan golongan elit. Ada pergeseran dari produksi ke komsumerisme yang luar biasa.
Dulu di era kapitalisme klasik (sebelum postmodern), setiap orang membeli pakaian atas dasar kebutuhan. Namun kini, kita membeli pakaian punya tujuan lain, yakni untuk bergaya dengan pakaian tersebut yang memuat simbol-simbol dalam visualnya.
Menurut tokoh Postmodern, Jean Baudrillad menyatakan bahwa pola konsumsi masyarakat postmodern ditandai dengan bergesernya orientasi konsumsi, yang semula ditujukan bagi kebutuhan hidup, menjadi gaya hidup. Kelas menengah baginya, disebut sebagai leisure class atau kelas penikmat, yang dapat mengonsumsi produk-produk kapitalis di pasaran.
Konsumsi simbol ini melahirkan spectacle society atau masyarakat tontonan. Masyarakat yang saling menonton dan bertukar simbol. Hari ini, yang dilihat adalah apa yang anda kenakan, apa yang orang lain kenakan, kita satu sama lain saling menonton.
Maka tidak heran, kerap ada seseorang yang merasa canggung ketika memasuki kelompok sosial yang rata-rata serba menggunakan barang mewah. Rasa canggung itu timbul, ketika kita tidak memiliki simbol yang setara dengan mereka untuk saling ditukarkan.
Baudrillad dalam tulisannya simulacra and simulation, ia mengatakan bahwa hal itu adalah efek dari Simulakra. Ada tiga wujud Simuklara: teks, visual (citra), dan peristiwa.
Simulakra ini adalah instrumen yang mampu mengubah hal-hal bersifat abstrak menjadi konkret, begitu pula sebaliknya. Seperti iklan-iklan dalam televisi, yang menyajikan tayangan adegan manusia (konkret) di dalam sebuah layar kaca (abstrak).
Tidak hanya televisi, iklan-iklan dalam bentuk langsung seperti poster atau baliho, bahkan melalui ponsel pintar, sudah menjadi medium diproduksinya simulakra. Pada akhirnya, apapun yang termuat dalam medium tersebut, itulah standar yang disepakati bersama, untuk saling ditukarkan dan dibenarkan.