Pada hari Minggu (16/01) yang lalu kebetulan saya melintasi jalan Menteri Supeno, tempat Kompas Jateng berkantor. Sebelumnya, saya melintasi jalan Pandanaran dan melihat banyak umbul-umbul bertuliskan Wawasan: Koran Pagi di depan kantor redaksi Wawasan. Setelah saya cari tahu, koran yang terbit sore sejak kemunculannya di tahun 1986 itu ternyata diakuisisi oleh grup Bisnis Indonesia dan mulai terbit pagi sejak 10 Januari 2011. Dulu, Wawasan seolah berperan sebagai koran "nomor dua" setelah Suara Merdeka, koran yang bisa dibilang merajai area Jawa Tengah, yang notabene satu grup dengan Wawasan. Kembali ke jalan Menteri Supeno, ketika melewati kantor Kompas Jateng saya melihat keramaian dan berbagai tulisan berbunyi "Warta Jateng." Ternyata, Warta Jateng menggelar hajat di lapangan Pancasila (Simpang Lima) Semarang dalam peluncurannya. Karena penasaran, keesokan paginya saya langsung membeli koran Warta Jateng yang ternyata baru terbit di hari itu. Harganya relatif murah--entah karena promosi atau memang oplah cetaknya tinggi--hanya seribu rupiah. Harga langganannya per bulan 20 ribu rupiah, bisa dikatakan sangat murah, meski saya tak tahu sampai kapan harga itu berlaku. Lalu bagaimana dengan "nasib" segmen Jateng di koran Kompas sendiri? Selidik punya selidik, seorang teman yang tiap hari membaca Kompas mengatakan bahwa memang beberapa waktu ini Kompas tidak "disisipi" bendel Kompas Jateng. Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu, ketika koran Meteor dari grup Jawa Pos menyapa pembaca perdananya dengan bahasa dan berita "pinggiran" (mungkin di Jakarta sama seperti koran Lampu Merah, yang sekarang berubah menjadi Lampu Hijau). Koran itu laku keras bak kacang goreng, karena harganya juga murah, yakni hanya seribu rupiah. Pembeli dan pembacanya rata-rata dari kelas ekonomi menengah ke bawah, lumayan baik untuk meningkatkan minat baca mereka yang tiap hari berjibaku dengan keringat dan debu, meski yang banyak dibaca adalah seputar cerita seks dan hantu. Sekarang, sepertinya koran Meteor sudah meredup di Semarang--mungkin tidak di kota lain. Berbeda dengan Meteor, Warta Jateng menyajikan berita yang lebih "sopan" dengan bahasa dan berita "khas Kompas." Dengan semboyan "lugas dan bersahabat," Warta Jateng menyapa dengan Headline perdana "PSIS Butuh Darah Segar." Dari judul yang dipilih untuk edisi perdana ini, saya melihat keinginan Warta Jateng untuk dekat dengan kaum "proletar" yang rata-rata memang pecinta bola. Koran yang ber"durasi" 16 halaman ini juga mengalokasikan 25% lahannya untuk sepak bola dan (sedikit) cabang olahraga lainnya. Meski demikian, dengan konsep kebahasaannya yang tergolong baku, saya masih kurang yakin dengan penerimaan masyarakat menengah ke bawah terhadap koran baru ini. Itu belum ditambah dengan asumsi yang kuat mengakar di masyarakat, bahwa koran "standar" Semarang atau Jawa Tengah adalah Suara Merdeka. Suara Merdeka sudah menjadi semacam "trade mark" bagi kota Semarang maupun Jawa Tengah. Koran yang terbit sejak tahun 1950 ini diklaim sebagai koran dengan pembaca terbanyak di seluruh Jawa Tengah. Di Semarang, Suara Merdeka bisa dikatakan seterkenal lumpia ataupun Lawang Sewu. Meski kualitas beritanya tergolong "biasa," Suara Merdeka yang notabene paham dengan seluk-beluk pembaca surat kabar di Semarang dan Jawa Tengah menyajikan berita dan kolom yang menarik minat baca tanpa harus menyajikan cerita seks maupun horor. Memang, ada cerita-cerita yang kurang sedap mengenai sepak terjang monopolis koran ini selama saya bekerja di salah satu koran di Semarang, namun saya tak pernah membuktikannya secara langsung. Jadi, saat ini di Semarang setidaknya ada dua kompetitor kuat yang harus dihadapi oleh Warta Jateng, yakni Wawasan (yang sekarang terbit pagi) dan Suara Merdeka. Sebenarnya masih ada koran lain, seperti Radar Semarang dari Jawa Pos misalnya, namun bukan tergolong koran "lokal" di Semarang. Pelanggan Kompas di Semarang pun menurut saya akan berpikir dua kali sebelum berlangganan Warta Jateng, mengingat tambahan 20 ribu lagi yang harus dibayar. Akankah Warta Jateng bertahan dan bahkan mampu "menggilas" Wawasan dan Suara Merdeka? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. [caption id="attachment_85397" align="alignleft" width="640" caption="Warta Jateng/dok.pribadi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H