Pada waktu menjadi pembicara di salah satu SMA di Depok, saya bertanya kepada para siswa yang hadir, “Siapa yang pernah dipanggil ‘munafik?” Ada satu anak yang mengacungkan tangan dan bercerita bahwa orang tuanya memanggilnya munafik pada waktu ia ditawari sesuatu yang sebenarnya ia kehendaki namun ia tolak.
Kemudian, saya bertanya lagi, “Siapa yang pernah disebut dengan panggilan ‘sok suci?” Satu anak mengangkat tangannya dan bercerita bahwa ia pernah dipanggil teman-teman sekelasnya dengan sebutan “sok suci” pada waktu ujian nasional di SMP, karena ia menolak “bekerja sama” sesuai arahan guru. Ia tak mau menyontek ataupun memberikan contekan.
Sebutan yang sama juga pernah saya dapatkan dari teman-teman, baik semasa SMA, maupun semasa kuliah. Alasannya juga sama: saya menolak berpartisipasi dalam kegiatan contek-menyontek. Oya, ada satu sebutan lagi, yakni “pelit,” karena tidak mau berbagi jawaban. Namun demikian, sebutan-sebutan itu tak lantas memutus tali pertemanan di antara kami.
Anda mungkin pernah mengalami hal yang sama: dikatakan sebagai orang yang pelit, munafik, atau sok suci, ketika menolak bekerja sama dalam perbuatan-perbuatan yang tidak jujur/baik. Ketika “diserang” seperti itu, seolah-olah kita menjadi “terdakwa” di mata mereka. Kita tentu tak bisa melupakan kisah mengenai seorang anak SD dan ibunya yang sampai diusir dari kampungnya karena membocorkan adanya kegiatan menyontek massal dan dianggap mencoreng muka kampung beberapa waktu lalu.
Padahal, justru merekalah—orang-orang yang tidak jujur—para munafik sejati. Mengapa demikian? Karena orang-orang seperti itu memperlakukan kejahatan sebagai tindakan yang “halal” dan dikenan Tuhan, yang kepadaNya mereka beribadah. Melakukan kecurangan namun merasa tidak bersalah, bukankah itu bentuk kemunafikan yang parah? Lebih parahnya lagi, mereka menyebut orang-orang yang tidak mau berpihak kepada mereka sebagai munafik!
Jika masih berkubang di dalam lumpur dosa tanpa pernah menyesal atau bertobat namun masih merasa punya muka untuk beribadah kepada Tuhan, bukankah itu keterlaluan?
Tentu saja, saya (dan anda) bukanlah orang-orang yang suci, yang tidak pernah melakukan dosa. Akan tetapi, setidaknya ada upaya untuk menjalani hidup yang benar dan berkenan kepada Tuhan, bukan? Definisi munafik sesungguhnya bukanlah menolak untuk berbuat jahat, tetapi sebaliknya, menolak untuk memiliki cara hidup yang baik, bermartabat, jujur, dan dikenan Tuhan.
Jadi, jika ada orang yang menyebut anda munafik atau sok suci ketika menolak bekerja sama dalam perbuatan jahatnya, “samakanlah kedudukan” dengan menyebutnya munafik atau sok suci ketika orang itu menjalankan ibadahnya. Karena seseorang tidak dapat melangkahkan kakinya ke dua arah yang berlawanan. Kita tidak bisa melangkahkan satu kaki ke “neraka” dan satu kaki lainnya ke “surga.”
Pilih mana, menjadi munafik di hadapan manusia atau menjadi munafik di hadapan Tuhan?
Selamat memilih!
-------------
Ikuti @Tweetspiring
-------------