Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Soeharto dan Kelompencapir

21 Oktober 2010   02:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:15 2464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_297178" align="alignright" width="300" caption="from: www.mangapulsagala.com"][/caption] Yang pernah mengalami pajak televisi (kebanyakan pemilik televisi langsung menyembunyikan televisi mereka begitu tahu petugas TVRI menuju rumahnya, agar tak ditagih pajak, hehe...) pasti tahu sebuah program pemerintah waktu itu yang disiarkan di TVRI, yaitu Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa, disingkat Kelompencapir. Dalam program itu pemerintah mengumpulkan para petani dan nelayan dalam sebuah forum adu otak seperti cerdas-cermat. Seingat saya, Soeharto biasanya hadir di acara tersebut, memberikan sepatah-dua patah kata. Kelompencapir muncul beberapa waktu ini di benak saya, sebelum ontran-ontran tentang rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Kepanjangannyalah yang menggelitik saya untuk mengaitkannya dengan politik mantan tiran namun calon pahlawan tersebut. Sebagai seorang penguasa, Soeharto tahu betul bahwa masyarakat yang kritis dapat membahayakan tahtanya. Oleh karena itulah, media massa menjadi salah satu sasaran utama penaklukannya. Melalui Departemen Penerangan, semua berita baik di surat kabar, radio, maupun televisi harus selaras dengan kebijakan pemerintah. Di satu sisi, acara Kelompencapir sangat efektif dalam memberikan pendidikan pertanian dan perikanan kepada masyarakat kita. Namun di sisi lain, acara ini mencerminkan kebijakan pemerintah yang anti-kritik. Mengapa demikian? Sederhana saja, masyarakat dengan sengaja "dipasifkan" oleh program ini. Kelompok tani dan nelayan hanya boleh mendengarkan (radio), membaca (surat kabar), dan memirsa/menyaksikan (televisi). Membuat siaran radio untuk mengkritisi pemerintah? Subversi pasalnya, dan penjara hukumannya. Menulis di surat kabar atau menulis buku-buku tentang kebobrokan pemerintah? Hadiahnya bisa pengasingan atau kematian! Sekarang, Kelompencapir itu bermetamorfosa dalam bentuk-bentuk yang lain, meski prinsipnya sama: membungkam kritik. Bagaimanapun juga, sepertinya saya harus sependapat jika Kelompencapir dihidupkan lagi, mengingat bahaya kurang pangan yang konon akan kita hadapi di tahun-tahun mendatang. Daripada curhat sana-sini atau merekam album baru, lebih baik energi kepala pemerintahan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan dan petani. Khusus di Kompasiana ini, saya terpikir untuk dibuat istilah serupa, yakni Kelompencator, alias Kelompok Penulis, Pembaca, dan Komentator, hehehe.... :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun