Indonesia adalah negeri yang berlimpah Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), dan Sumber Daya Seni-Budaya (SDSB?). Di tanah dan lautnya yang subur, hampir semua jenis flora dan fauna di dunia hidup dan berkembang-biak. Di "perut" Ibu Pertiwi, terkandung berbagai jenis bebatuan dan mineral berharga yang dicari dunia. Di atasnya, beragam suku, tradisi, budaya, bahasa, dan tentunya, kepercayaan, berbaur dan berinteraksi satu sama lain. Kita patut bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di tanah yang kaya-raya ini. Namun lihatlah, alasan-alasan kita untuk bersyukur sepertinya dimentahkan oleh berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kita. Alam kita sepertinya sudah tak mau bersahabat lagi dengan penghuninya. Berita bencana alam silih berganti menghiasi kolom-kolom surat kabar kita. Terjangan Tsunami di tahun 2005 adalah kabar terburuk yang pernah kita dengar dalam sejarah bencana di negeri ini (tentunya belum termasuk meletusnya gunung Krakatau beberapa abad silam). Setelah itu, giliran Jogja dan Padang dengan gempa buminya yang demikian dahsyat merenggut korban jiwa. Baru-baru ini, gunung Sinabung yang sudah puluhan tahun tidak meletus, menunjukkan amarahnya. Belum lagi serbuan banjir, angin puting beliung, tanah longsor, yang menerpa wajah Jamrud Khatulistiwa ini. Cuaca ekstrem yang saat ini melanda kita konon akan terus berlangsung hingga awal tahun depan. Dan, di awal tahun depan, siapa yang tahu bencana apalagi yang akan menimpa bangsa kita? Ulah-ulah manusia tak bertanggungjawab telah mengakibatkan bencana politik, hukum, ekonomi, moral, dan sosial bagi negeri kita tercinta. Korupsi di sana-sini, belum lagi ulah-tingkah para politisi yang mau menang sendiri, perkara-perkara hukum yang malah jadi komoditi, dan masih banyak lagi kebobrokan di negeri kita ini yang sungguh tak sepadan dengan karunia yang telah diberikan Tuhan. Moralitas kita bobrok, dan secara sosial, kita seperti memasuki mesin waktu karena keadaan kita yang sekarang ini bukannya tambah maju malah makin mundur ke masa lalu. Negeri yang biasa membanggakan diri karena dikenal keramahannya, sekarang malah menjadi negara yang tidak aman untuk dikunjungi, sehingga sempat beberapa "travel warning" dikeluarkan di negara-negara tetangga. Peristiwa yang baru saja terjadi di Tarakan, di jalan Ampera, dan di Bogor sepertinya makin menegaskan hal ini. Kita juga mengalami bencana seni dan budaya. Masih segar tentunya dalam ingatan kita, bagaimana negara tetangga mengklaim reog sebagai bagian dari tradisi mereka. Tak hanya reog, batikpun turut menjadi sasaran pencurian kekayaan tradisi khas bangsa kita. Kebudayaan kita juga telah lama luntur, berganti menjadi budaya "Timur" dan budaya "Barat." Nyaris tak ada tempat bagi budaya Jawa, Bali, Batak, Dayak, atau Papua di sini. Tengoklah televisi barang sejenak, dan carilah di sana sesuatu yang khas tradisi bangsa kita, hampir tak ada, bukan? Orang-orang merasa lebih tinggi derajatnya atau mencoba menunjukkan kepandaiannya dengan mengutip kosakata-kosakata asing, entah dari "Timur", entah dari "Barat". Untuk masalah agama, kita semua dengan sukarela mengimpor mereka semua: Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik, serta beberapa lainnya yang disahkan ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Memang, (nenek moyang) kita sama sekali tidak memiliki agama asli, kecuali aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Dan, setuju atau tidak, saya melihat kita pun sekarang mengalami bencana agama. Agama telah tereduksi menjadi seperti organisasi massa yang saling menyerang--baik secara fisik maupun verbal--dan saling berebut "anggota." Ketika seseorang menentukan pilihan secara sadar untuk memeluk agama "seberang," serta merta seluruh sanak saudara akan menjadi berang. Padahal agama, jika dilihat dari epistemologinya, seharusnya membawa harmoni, bukan kekacauan seperti yang telah (atau sedang?) terjadi. Tuhan mungkin geleng-geleng kepala ketika melihat perilaku penghuni dunia ciptaan-Nya, namun mungkin gelengan kepala-Nya paling keras ketika mengamati tingkah-polah kita di negeri ini. Mungkin kita ini seperti anak bungsu yang biasanya lahir ketika kondisi keluarga telah mapan. Sejak kecil kita sudah terbiasa menerima segala kenyamanan. Koes Plus menyaksikan kenikmatan nusantara ini dengan sebuah lagu: Bukan lautan, hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman. Namun, seperti layaknya anak bungsu, kita juga terbiasa memaksakan kehendak. Kita tidak terbiasa menghadapi kritikan. Kita juga akhirnya menjadi tak terbiasa berempati, karena yang kita cari adalah semata-mata kenikmatan diri. Itulah sebabnya DPR tetap saja menjalankan "rencana-rencana brilian"-nya meski menuai berbagai kritikan pedas di sana-sini. Itulah mengapa para petinggi kita bermewah-mewah (dan anehnya, masih merasa menderita!) sementara banyak rakyatnya yang bahkan untuk hidup pun harus berjuang ekstra keras. Ah, semoga kita tak seperti si bungsu yang dikisahkan dalam Kitab Suci, yang baru bertobat setelah kehilangan segala-galanya, dan dengan langkah tertatih dan kepala tertunduk, kembali pada sang ayah yang sebenarnya telah lama menanti. [caption id="attachment_277541" align="alignnone" width="300" caption="Anak yg Hilang"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H