Suatu hari di tahun 1998, ketika aku masih kelas dua SMA, tanpa sadar aku menghabiskan semua uang sakuku untuk jajan di kantin. Padahal, tak lama berselang, aku belajar tentang tanggung jawab mengelola hidup-termasuk keuangan-di dalam kelompok pemahaman alkitab yang kuikuti. Aku terancam tak bisa membayar angkot untuk pulang ke rumahku yang jaraknya seperempat hari jalan kaki!
Aku termasuk orang yang sungkan untuk meminta tolong, apalagi meminjam uang, meski kepada teman sendiri. Sambil berjalan pulang menyusuri lorong sekolah, aku mengaku salah kepada Tuhan, karena telah lalai mengelola uang yang Ia percayakan. Waktu itu, tarif anak sekolah untuk naik angkot sebenarnya cukup murah, hanya seratus rupiah. Akan tetapi, apa daya, uangku benar-benar habis tak bersisa.
Dua kelas sudah kulewati waktu itu, tinggal satu kelas lagi untuk kemudian menyusuri halaman depan sekolah dan sampai di jalan raya. Seseorang memanggilku dari belakang, suaranya terdengar asing. Akupun menengok, ternyata teman dari temanku, jadi kami sebenarnya kurang begitu akrab.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Ini," katanya, sambil mengulurkan selembar uang ribuan kepadaku.
"Apa ini?" Tanyaku lagi, penasaran.
"Dulu aku kan pernah pinjam uangmu, ingat kan?" Jawabnya mengingatkan.
Aku mencoba mengingat-ingat kembali, berusaha menggali memori. Maklum, aku ini agak pelupa.
Ah, akhirnya aku ingat. Memang, waktu itu aku sedang hendak pulang, ketika temanku memanggilku karena temannya-yang sedang mengulurkan uang kepadaku itu-membutuhkan seribu rupiah. Ketika itu aku sedang ada uang lebih, sehingga kupinjamkan saja sebagian uangku sejumlah yang ia butuhkan, tentunya dengan harapan segera dikembalikan.
Tahukah kamu, kapankah aku meminjaminya uang? Waktu kami masih kelas satu!
Jadi, kira-kira setahun sudah berlalu sejak ia meminjam uangku, dan ajaibnya, ia mengembalikannya tepat ketika aku membutuhkan uang untuk ongkos pulang.