Di tengah kesibukan pekerjaan saya hari ini (13/07) , saya menyempatkan diri untuk membaca koran Kompas. Saya adalah orang yang terbiasa dengan cara membaca cepat, kecuali jika saya menemukan judul atau topik yang menarik. Siang tadi, satu berita yang menarik perhatian saya adalah tentang pengakuan pelatih kesebelasan Belanda, Bert van Marwijk, bahwa permainan keras yang dijalankan timnya ketika melawan Spanyol pada putaran final Piala Dunia 2010 kemarin merupakan bagian dari strateginya. Ia mengakui bahwa Spanyol adalah negeri dengan sepak bola terbaik dalam beberapa tahun terakhir, dan oleh karenanya ia merasa perlu menggunakan "pendekatan fisik" untuk mendominasi permainan. Ia menambahkan, bahwa memang permainan keras itu bukan gaya Belanda, "tetapi Anda bermain untuk menang." Hasilnya? Kita semua tahu bahwa mereka tetap saja kalah, bahkan dengan koleksi kartu kuning terbanyak di laga kali ini! Saya termasuk pengagum seni "total football" yang sudah menjadi gaya paten tim kincir angin tersebut, namun sayangnya tim Belanda seolah mengingkari jatidiri mereka sendiri ketika bermain keras melawan Spanyol pada pertandingan final yang lalu. Pemain-pemain flamboyan yang berkelas dunia berubah menjadi seperti pemain-pemain kampung yang bertanding di tingkat RT! Saya yakin, banyak penonton yang dikecewakan karena melihat permainan gaya kampung mereka yang tidak sepadan dengan mahalnya harga tiket yang mereka beli. Pengejaran yang membabi-buta terhadap kemenangan oleh sang pelatih telah membuatnya melakukan segala cara untuk meraihnya. Hasilnya, muncullah "kejahatan sepak bola" yang diperlihatkan Belanda. Ironisnya (dan mungkin, untungnya) strategi itu toh tidak berhasil juga. Bert ternyata tidak cukup percaya diri dengan gaya "total football" khas negeri sendiri, padahal belum tentu mereka akan kalah dengan strategi "standar" tersebut kan?. Cukuplah kiranya saya menyumpahi tim Belanda. :) Sekarang saya ingin mengajak kita dalam menu utama tulisan ini. Saya ingin mengajak kita untuk menarik garis merah dari kejahatan sepak bola Belanda ke dalam diri sendiri. Mungkin tanpa kita sadari kita berlaku seperti tim oranye itu. Ketika kita terlalu mengagungkan kemenangan, baik dalam bisnis, sekolah/kuliah, pergaulan sosial, percaturan politik, ataupun dalam bidang-bidang lain, kita akan cenderung "menghalalkan" berbagai macam cara. Prinsip cinta dan kasih sayang akan kita pendam dalam-dalam di halaman belakang hati kita. Kita tak peduli siapa yang terluka atau siapa yang dirugikan, selama kita adalah pemenangnya. Dan, seringkali kita mengingkari jatidiri kita sendiri demi meraih ambisi yang kebablasan tersebut. Bermimpi boleh, berambisi pun perlu, selama tidak berlebihan, demikian wejangan dosen saya semasa kuliah dulu. Demi memenangkan status sosial, misalnya, sepasang suami-istri merasa perlu membeli ini-itu yang sebenarnya "mengingkari" pendapatan mereka yang pas-pasan. Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar banyak guru dan sekolah yang justru memfasilitasi anak didik mereka agar bisa mendapat jawaban ujian nasional, demi memenangkan citra sekolah di mata pemerintah dan masyarakat. Sungguh sebuah noda yang memalukan bagi pendidikan di Indonesia! Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam kehidupan, dan sebagai bagian dari rencana penciptaan, kita selalu bebas menentukan pilihan kita, bahkan ketika di bawah ancaman sekalipun. Seorang agen rahasia yang tertangkap, misalnya, bebas menentukan apakah ia akan membongkar rahasianya atau menyimpannya sampai mati. Ia pun dari semula bebas memilih akan menjadi agen rahasia atau tidak. Yang tersulit dari pilihan-pilihan itu adalah bahwa seringkali kita tidak dapat memastikan hasil akhir dari tiap pilihan tersebut dan kita tak dapat menjalani keduanya sekaligus. Robert Frost, salah seorang penyair besar Amerika, mengungkapkan sulitnya menentukan pilihan dalam puisinya yang terkenal, "The Road Not Taken." Dalam puisi tersebut, dikisahkan tentang seseorang yang dihadapkan pada suatu jalan bercabang di pinggir hutan, yang masing-masing ujungnya tak terlihat, dan akhirnya memilih jalan yang jarang dilalui orang banyak. Dia ingin menjalani cabang satunya di lain kesempatan, meski ia tak tahu apakah ia dapat kembali lagi ke percabangan itu. Kira-kira 2000 tahun sebelumnya, Isa Almasih pernah juga bersabda, "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya" (Mat. 7:13-14). Beberapa abad sebelumnya, raja Sulaiman menulis, "Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut" (Ams. 16:25). Tokoh-tokoh besar tersebut pun telah bergumul dengan pilihan-pilihan semasa hidup mereka di dunia, dan sekarang ini kita dapat merasakan dampak positif dari pilihan yang mereka buat! Sang pelatih mungkin berpikir bahwa strategi yang ia pilih adalah strategi yang "lurus," namun baru di akhir pertandingan ia mendapati bahwa ia telah memilih jalan yang salah, karena toh mereka tak berhasil membungkam matador-matador dari Spanyol itu. Jika saja ia memilih strategi yang lebih "flamboyan," tentu ia takkan menuai makian dan kritikan dari para pendukung dan pengamat--meski mungkin dengan strategi itu mereka juga kalah! Kita juga seringkali melakukan hal yang sama seperti Bert. Strategi yang kita pilih untuk menyelesaikan permasalah yang kita hadapi seringkali hanya bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan, bukan untuk menyelesaikannya dengan "indah" dan "benar." Kebenaran, kasih, dan keadilan hanya menjadi slogan dalam kehidupan kita, dan kita mengesampingkannya ketika berhadapan dengan permasalahan atau tantangan. Kita seharusnya memilih jalan yang benar, bukan sekedar yang menjanjikan kemenangan. Kita harus berani mengambil jalan yang mungkin jarang dilalui orang dan memasuki pintu yang sesak, jika itulah yang membawa kepada kehidupan. Jangan sampai kita terlena mengambil jalan yang ramai, lapang, dan terlihat lurus, namun ternyata berujung maut. Apa yang akan Anda lakukan ketika menghadapi ujian yang sangat sulit, sementara Anda duduk bersebelahan dengan juara kelas yang "murah hati" memberi contekan? Apa yang akan Anda lakukan jika pimpinan Anda meminta Anda menandatangani sebuah nota keuangan yang tidak Anda ketahui darimana asalnya? Apakah yang akan Anda lakukan jika semua pengendara di depan menerobos lampu merah yang memang akan "menghijau" dalam beberapa hitungan? Apakah Anda juga akan menerapkan strategi yang tergolong kejahatan dalam sepak bola, jika Anda adalah Bert van Marwijk, pelatih timnas Belanda? Selamat menentukan pilihan. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H