Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kaum "Highlander" dan Rumah Tuhan

17 September 2010   03:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi saya, rumah ibadah seperti apapun bentuknya dan se"menyimpang" apapun dari ajaran agama yang saya anut adalah rumah Tuhan. Di situ nama Sang Pencipta dipuji, diagungkan, dimuliakan. Di situ, setiap umat diajarkan cara-cara hidup yang lebih baik, lebih beradab, lebih bersusila. Di situ, segala pendosa ditobatkan dan diampuni, dan semua manusia diakui harkatnya sebagai sesama ciptaan Yang Maha Kuasa. Di dalam rumah ibadah, iblis tak berani masuk. Di dalam rumah ibadah, para "Highlander" pantang berperang. Itulah sebabnya, saya sungguh terheran-heran setiap kali mendapati kasus tentang pelarangan pendirian rumah ibadah dan bahkan penyerangan dan penutupan paksa terhadap rumah ibadah yang telah berdiri--apapun alasannya. Saya orang kristen, tapi saya tak pernah merasa risih melihat rumah-rumah ibadah agama lain. Bahkan sesekali saya "mampir" sejenak jika sedang kecapekan dalam perjalanan, karena di dalam lingkungan rumah ibadah--apapun agamanya--saya merasa aman. Logika saya sederhana saja: semakin banyak rumah ibadah, semakin amanlah lingkungan, dan semakin meningkatlah kualitas masyarakat di sekelilingnya (fisik, sosial, moral, dan spiritual). Namun, hal-hal yang sederhana dan indah ini justru diperumit oleh Pemerintah. Memang itulah yang biasa dikerjakan oleh Pemerintah beserta tetek-bengek birokrasinya, membuat yang mudah dan sederhana menjadi sulit dan rumit. Sama sekali tak masuk akal sebenarnya, jika pembangunan sebuah Rumah Tuhan harus mendapatkan ijin tertulis dari masyarakat dan Pemerintah, padahal dahulu pembangunan atau perbaikan sebuah rumah ibadah--entah masjid, pura, wihara, atau gereja--dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat yang notabene berasal dari agama yang berbeda-beda. Ironisnya, peraturan yang katanya upaya Pemerintah untuk menjaga keharmonisan antar-umat beragama, justru menjadi bumerang bagi kebebasan beragama, terutama untuk masalah pembangunan Rumah Tuhan. Kendala ini tidak hanya dihadapi oleh umat kristiani, namun juga umat muslim dan agama lain, ketika hendak mendirikan Rumah Tuhan di wilayah yang dihuni oleh mayoritas umat agama lain. Kata yang mulia seperti "kerukunan" kemudian direduksi menjadi dokumen-dokumen resmi. Pihak yang hendak membangun Rumah Tuhan harus mengumpulkan 60 tanda tangan persetujuan dari warga. Salah satu pengalaman di kampung sebelah, sebuah Rumah Tuhan tak bisa segera dirampungkan karena ada satu--ya, SATU--warga yang menolak menandatangani surat persetujuan. Jadi, suara satu warga bisa menggagalkan 59 suara warga lainnya yang sudah setuju. Di tempat lain, proses pengumpulan tanda tangan ini malah menjadi ajang pungli dan pemerasan. Sungguh ironis, bukan? Sudah waktunya (dan seharusnya sudah sejak dahulu) Pemerintah mengulas kembali kebijakannya terhadap aturan pembangunan Rumah Tuhan ini. Kaji kembali seberapa jauh peraturan tentang kebebasan beragama, khususnya tentang Rumah Tuhan ini membawa kemajuan bagi masyarakat. Seberapa banyak manfaatnya dan seberapa banyak mudharatnya. Mari kita kembali pada upaya musyawarah untuk mencapai mufakat demi mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tidak bergantung pada angka-angka yang bisa dan rawan dimanipulasi. Mari kita memandang Rumah Tuhan sebagaimana seharusnya, bukan sebagai ancaman, namun sebagai berkah dan penyejuk bagi lingkungan. Mungkin kita perlu belajar dari kaum "Highlander" yang menghormati kekudusan Rumah Tuhan... Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun