Setahu saya, tidak satu angkutan umum pun yang trayeknya menghubungkan Cikeusik dengan Temanggung. Meski demikian, kita melihat kekerasan berkedok "sayang agama" meluncur dengan cepat dari pelosok Banten ke pelosok Jawa Tengah.
Hari ini, terjadi pembakaran tiga gereja di Temanggung, yang dipicu oleh sidang kasus penodaan agama atas Anthonius Richmond Bawengan (ARB). ARB adalah warga Kebon Jeruk, Jakarta (menurut KTPnya), yang diketahui membagi-bagikan brosur yang isinya diduga menghina agama Islam ketika bermalam di rumah saudaranya.
Berita terakhir yang saya ikuti belum menyebutkan tentang adanya korban jiwa dalam insiden tersebut, karena ketiga gereja itu masih terbakar dan belum ada petugas pemadam yang menanggulanginya. Massa masih menguasai jalan-jalan kota, sedangkan aparat keamanan "sibuk" menjaga kantor polisi, kejaksaan, dan pengadilan yang diperkirakan akan dirusak massa.
Ketika seseorang tak mampu mengatasi amarahnya dan tak bisa "mencolek" objek kemarahannya, maka objek lain yang dianggap berhubungan bisa menjadi objek pelampiasan. Sepertinya karena ARB mengaku beragama Katholik, maka mereka melampiaskannya dengan membakar gereja-gereja, yang kemungkinan besar tak ada hubungannya dengan terdakwa.
Saudaraku, hari ini kita melihat lagi bahwa kekerasan berdasar agama terbukti menjadi bahaya laten di negeri ini. Rasa "sayang" yang berlebihan kepada agama telah menihilkan rasio, bahkan kemanusiaan para oknum pembakar gereja tersebut. Sebenarnya, di sinilah perlunya peran pemuka agama untuk memberikan tuntunan yang baik kepada umat asuhannya, agar tak mudah terprovokasi dan tersulut emosi.
Apakah mereka--pembantai manusia di Cikeusik dan pembakar gereja di Temanggung--adalah orang yang sama? Kemungkinan besar tidak. Yang jelas, ada benang merah yang menghubungkan mereka, yakni rasa "sayang" yang berlebihan terhadap agama, atau kita biasa menyebutnya "fanatisme."
Fanatisme agama bagi saya sama berbahayanya dengan paham komunisme yang digembar-gemborkan pemerintah (Orba) sebagai bahaya laten. Kedua paham itu melegalkan kekerasan dan pembantaian terhadap orang-orang yang berseberangan dengan mereka.
Semoga "angkutan umum" kekerasan atas nama agama hanya berhenti di Temanggung saja dan tidak "narik" lagi, seperti bus-bus yang dihapuskan trayeknya oleh Pemda DKI terkait pengoperasian bus Transjakarta koridor IX dan X. Namun, keraguan tetap menggelayut dalam batin, karena pemerintah kita (selalu) hanya bisa prihatin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H