Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari Orde Baru

10 Januari 2011   07:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati penulis ketika era reformasi mulai bergulir pasca lengsernya Soeharto pada tahun 1998, yakni mengenai kesinambungan pembangunan: apakah kebijakan pemerintah yang baru akan meneruskan upaya-upaya yang telah dirintis pemerintah yang lama, ataukah membuat langkah-langkah baru dalam kebijakan pembangunannya.

Sejak di bangku sekolah dasar, penulis sudah diberikan pelajaran mengenai GBHN, Pelita, dan Repelita, yang menjelaskan tentang garis kebijakan (baca: visi) pemerintah negara Indonesia ini hingga jauh ke depan. Visi pemerintah era Soeharto itu, seingat penulis, terbagi dalam periode lima tahunan (Pelita, Pembangunan Lima Tahun) dan dua pulh lima tahunan (Repelita, Rencana Pembangunan Lima Tahun).

Penulis tidak ingat, saat itu kita sudah memasuki Pelita ke berapa. Namun, pemerintah-pemerintah sesudahnya sepertinya alergi untuk bersinggungan dengan "produk-produk" era Orde Baru, yang dikatakan menyengsarakan rakyat itu. Kita yang mengamati perkembangan pemerintahan pasca Orde Baru pasti tahu, bahwa pergantian pemerintahan yang begitu cepat di negeri ini menimbulkan ketidakstabilan dalam beberapa bidang.

Salah satunya adalah bidang pendidikan. Penulis mengamati bahwa pergantian Menteri Pendidikan hampir selalu diikuti dengan pergantian kebijakan mengenai sistem pendidikan di negara kita. Alhasil, para peserta didik seolah menjadi kelinci percobaan bagi eksperiman sistem pendidikan. Bahkan, banyak diberitakan mengenai siswa-siswi yang bunuh diri karena dinyatakan tidak lulus ujian.

Di lingkungan perguruan tinggi, sebagai akibat dari swastanisasi institusi PT, dibukalah kelas-kelas profesi tambahan yang bangku-bangkunya bisa "dibeli." PT yang (dulunya?) berstatus negeri membuka program-program ekstensi, menyedot calon mahasiswa PT swasta, termasuk yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan akademis yang memadai.

Program-program jangka panjang yang dulunya dirancang oleh pemerintah Orba, terpaksa terputus di tengah jalan karena stigma buruk yang menempel pada rezim pembawanya. Padahal, belum tentu semua program tersebut tidak dapat membawa kebaikan bagi negeri ini.

Salah satu kehilangan besar bagi pembangunan karakter bangsa ini adalah dihapuskannya program Penataran P4 dan pelajaran Pancasila dari kurikulum dasar dan menengah kita. Penulis yang sempat merasakan program tersebut, tidak melihat adanya keburukan dalam pengajaran yang diberikan. Semuanya mengajarkan kerukunan, kesatuan, dan kecintaan terhadap bangsa, hal-hal yang semakin jarang didapati di negeri ini.

Semua itu sebagai konsekuensi logis dari sistem pemerintahan yang "terlalu" demokratis, yang hanya mengandalkan kekuatan politik untuk menjalankan negara. Presiden yang terpilih dalam Pemilu pastilah harus membagi kekuasaannya dengan partai-partai yang mendukung pencalonannya, salah satunya dengan mengangkat menteri-menteri yang mewakili partai-partai tersebut.

Menteri-menteri inipun kemudian akan cenderung mengangkat pejabat-pejabat yang tidak berseberangan kebijakan dengannya. Itulah sebabnya, konon terjadi mutasi besar-besaran di lingkungan kementerian tiap kali ada pergantian kekuasaan. Yang diangkat pun, belum tentu memiliki kompetensi yang memadai untuk menduduki jabatannya, mengingat pengangkatannya hanya berdasarkan pertimbangan politis saja.

Akibatnya, roda pemerintahan seringkali tersendat. Banyak berkas dan permohonan yang menumpuk karena menunggu proses pergantian ini. Kebijakanpun bahkan bisa berubah seratus delapan puluh derajat di tangan pejabat yang baru. Pejabat di lingkungan legislatif pun pernah mengeluhkan tentang ambisi menteri-menteri baru untuk mengusulkan draf RUU yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari Undang-undang yang sudah ada, hanya karena ingin "mengabadikan" namanya di dokumen resmi negara.

Penulis bukanlah pendukung Soeharto, akan tetapi bukan pula termasuk orang yang antipati dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Orba. Seperti kata pemuka agama, "tinggalkanlah yang buruk dan pakailah yang baik," demikian pula penulis memandang rezim ini. Tidak semua produk Orba itu buruk, namun juga tidak semuanya baik. Kitalah yang bertanggungjawab untuk memilih dan memilah mana yang bermanfaat demi kemajuan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun