Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Inilah yang Membuat Jokowi Istimewa

5 September 2012   07:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 1811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di salah satu pusat perbelanjaan, orang-orang suka mengerumuni sebuah bak besar yang berisi buah promosi. Buah yang sedang dipromosikan tersebut bisa berupa jeruk, kelengkeng, pear, atau lainnya. Tentu saja, yang namanya promosi, tidak semua buah tersebut dalam kondisi yang baik. Itu sebabnya, para pembeli yang tergiur dengan harga yang murah harus mau berdesakan dan telaten untuk memilih buah-buah yang masih dalam kondisi bagus.

Buah-buah yang dianggap baik dan dipilih oleh para pembeli itu bukan buah yang istimewa, karena memang sudah demikianlah seharusnya. Bedanya, buah-buah itu tidak ikut membusuk atau mengkerut seperti buah-buah lain yang biasanya dikembalikan lagi ke tempatnya oleh para calon pembeli. Buah-buah itu menjadi “istimewa” dan dipilih untuk dibeli karena performa mereka sesuai dengan apa yang diharapkan dari mereka.

Ada sebuah pepatah berbahasa Inggris yang menyebutkan, “in the land of the blind, the one eyed man is king.” Di sebuah wilayah yang didiami oleh orang-orang buta, orang bermata satu adalah rajanya, demikian kira-kira terjemahannya. Performa buah yang “biasa-biasa saja” atau “sudah sewajarnya” menjadi istimewa ketika performa buah-buah yang lain buruk atau di bawah standar. Sebuah ungkapan berbahasa Inggris yang lain menyebutkan, “a man’s gotta do what a man’s gotta do.” Seseorang (lelaki) harus melakukan apa yang harus ia (lelaki) lakukan. Dalam banyak hal, menjadi seseorang yang istimewa tidak membutuhkan upaya yang ekstra keras atau mujizat, melainkan cukup dengan melakukan apa yang harus dilakukan dengan baik dan tekun.

Sebagian kita mungkin masih ingat bagaimana Amien Rais mengomentari Jokowi sebagai “belum spektakuler (prestasinya), tetapi lumayan juga.” Meski hal itu dikatakannya dalam rangka membuat opini negatif tentang Jokowi, namun bisa dibilang ada benarnya juga. Jokowi memang bukan sosok hebat dengan “sentuhan Midas,” di mana setiap barang yang dipegangnya bisa menjadi emas. Dia hanyalah orang biasa yang melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dan tekun. Jokowi mungkin tak seperti Amien Rais yang (konon) adalah tokoh reformasi itu.

Akan tetapi, meski melakukan tugas-tugasnya seperti biasa, Jokowi menjadi sosok yang istimewa, karena performa pemipin yang lain—termasuk pesaingnya dalam Pilkada Jakarta—di bawah rata-rata. Jokowi menjadi istimewa, karena di antara begitu banyak kepala daerah yang sibuk memperkaya diri dan melalaikan amanat rakyat yang mereka emban, dia tidak ikut “menceburkan diri” ke dalam kubangan yang sama. Ketika yang lain menjaga jarak dengan rakyat dan tiba-tiba menjadi susah ditemui setelah menjabat, Jokowi melakukan apa yang sesungguhnya harus dilakukan oleh semua pemimpin: menyapa rakyat yang dipimpinnya, mendengarkan keluh-kesah mereka, dan mengupayakan kesejahteraan mereka. Hal-hal biasa saja sebenarnya.

Kita tak perlu menjadi seorang ekonom yang luar biasa untuk menggerakkan perekonomian rakyat, cukup memberikan peluang yang seluas mungkin bagi semua orang untuk melakukan kegiatan usaha, maka roda perekonomian itu akan berjalan dengan sendirinya. Itulah yang telah dibuktikan oleh Jokowi dengan revitalisasi pasar tradisionalnya. Seorang pemimpin yang baik tidak meremehkan orang-orang yang dipimpinnya, melainkan mengenali potensi yang mereka miliki, lalu memberikan “sedikit sentuhan” untuk memberdayakan potensi-potensi itu.

Di bidang seni dan budaya, Jokowi yang mengenali potensi masyarakat Solo melakukan hal yang sederhana: mengumpulkan para pegiat seni dan budaya yang ada di kotanya untuk meminta masukan dan saran mereka dalam rangka mengembangkan potensi seni dan budaya di kota tersebut. Dia tak harus menjadi seorang seniman atau budayawan, tak harus belajar bermain gitar atau mencipta banyak lagu. Dia cukup meminta masukan dari “ahlinya”, lalu dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki, menerapkan masukan-masukan yang dipandang baik.

Kita tidak perlu menjadi spektakuler atau luar biasa untuk menjadi sosok yang istimewa. Kita cuma perlu melakukan setiap tugas dan kewajiban yang diamanatkan kepada kita dengan penuh tanggung jawab. Setajam apapun sebuah kapak, ia takkan berguna jika tak pernah menebang pohon. Demikian pula, sia-sialah jika seorang pemimpin berilmu tinggi bahkan bergelar doktor yang sanggup membuat perencanaan pembangunan tingkat tinggi, jika ia minim implementasi. Jokowi telah membuktikan dirinya setia dalam perkara-perkara kecil, dan alangkah naifnya kita sebagai rakyat Indonesia, jika tak memberinya kepercayaan dalam perkara-perkara yang lebih besar: memimpin Jakarta!

-----
Ikuti @Tweetspiring
-----

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun