[caption id="attachment_173053" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Gaung Reformasi sudah lama tak terdengar di negeri ini, bahkan anak-anak SMP pun bertanya kepada guru mereka, "Mengapa Suharto dilengserkan? Apa salah dia?" Bahkan orang-orang pragmatis yang banyak mendiami bumi pertiwi pun mulai berpaling kepada rezim lama, yang dirasa tak begitu membebani hidup mereka. Bahkan almarhum diktator itupun mulai diajukan sebagai salah satu pahlawan, meski kasusnya menggantung tak terselesaikan. Mei 1998 membuka dua tabir. Tabir pertama adalah tabir yang telah lama menutup kebusukan orde tirani. Tabir kedua menyingkapkan hal yang lebih ngeri, yakni kerakusan dan kebiadaban bangsa kita sendiri. Ternyata kita tak seramah seperti yang diberitakan dan dikampanyekan oleh penguasa. Jauh di dalam hati, kita adalah orang-orang barbar yang jahat. Pendidikan tinggi hanya mengkonversi kebiadaban kita dalam bentuk yang dirasa lebih bermartabat. [caption id="" align="aligncenter" width="465" caption="preman/mediaindonesia.com"][/caption] Dan sejak saat itu, negara ini makin beringas. Di dalam masa kalut sebuah bangsa yang baru saja lepas dari rezim represi, orang-orang saling sikut dan saling serang. Laskar-laskar perang pun dibentuk dan dipersenjatai. Premanisme sengaja dibiarkan, agar rakyat sibuk mengamankan diri mereka sendiri, tak menyadari bahwa harta mereka sedang digerogoti. Sejak saat itu, Indonesia terperosok ke dalam kepungan premanisme. Di manapun orang berada dan ke manapun orang pergi, mereka akan selalu bertemu dengan preman. Di jalanan, orang-orang bertemu dengan preman kelas rendahan, kelas teri, yang meminta-minta duit sambil memaki. Di kantor-kantor, orang-orang bertemu dengan preman birokrasi, mulai dari level paling bawah hingga pimpinan puncak. Di Senayan, preman-preman saling berbagi. Preman sekarang tak cuma berbaju rombeng, tapi juga berjubah dan berdasi. Tak hanya keji, preman-preman di sini pun tak tahu diri. Pagi tadi, mereka menyerang rumah duka dan membabat para pelayat. Tindakan yang pengecut dan sangat jahat. Preman-preman itu juga menjamur bak minimarket. Jutaan warga ibukota terancam keamanannya karena ribuan preman dibiarkan merajalela. Dan baru besok Kepolisian akan merazia preman-preman di Jakarta, sebulan penuh, katanya begitu. Akan tetapi, kelanjutannya bisa diduga. Paling-paling hasilnya akan seperti berita ranjau paku, hanya bertahan satu minggu. Apalagi dengan retorikanya, juru bicara Kepolisian mengatakan hanya akan memerangi tindak kejahatannya saja, bukan oknumnya. Masyarakat dipersilakan untuk melapor segera jika mendapati ada tindak pidana. Lagi-lagi, rakyat ditinggalkan mengurus dirinya sendiri. Siapa pula yang mau melapor kepada preman berseragam? Ah, mungkin memang harus ada badai agar kita menghargai hari yang cerah, tanpa harus menunggu pelangi....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H