Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Pinggiran Code

29 November 2010   17:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore tadi hujan deras mengguyur kotaku, kota yang dibilang presiden negeriku bersistem monarki. Kata orang-orang di kedai kopi, Si Usil, demikian panggilan "kesayangan" kami padanya, mengeluarkan pernyataan yang kontroversial tentang monarki dalam demokrasi. Tak tahulah aku apa maksudnya, yang jelas pak Yono dan pak Bambang nampak sangat antusias tadi. Setelah seharian memeras keringat demi menghidupi anak istriku, aku pulang ke rumah setelah mampir sebentar di kedai kopi. Kedai kopi itu memang menjadi semacam televisi bagiku. Di situ semua berita dalam maupun luar negeri bertemu. Biasanya aku menghabiskan barang satu atau dua jam di situ, namun karena hujan deras aku memutuskan untuk buru-buru pulang. Tinggal di bantaran sungai Code terutama di masa-masa letusan Merapi membuatku selalu waspada tiap kali hujan lebat melanda. Ancaman banjir lahar dingin akibat letusan kemarin masih terbuka. Sebagai rakyat jelata, aku tak mampu membeli rumah yang layak untuk keluargaku. Aku hanya mampu menyewa sepetak ruang di rusunawa, tak lebih. Kekhawatiranku terjadi juga. Suara kentongan dan sirene bersahutan di luar sana. Ada suara orang-orang yang berteriak melalui pengeras suara. "Banjir.. Banjir..!" "Ayo mengungsi.. segera..!" Segera kukemasi barang-barangku yang tak seberapa. Kugendong anak pertamaku yang baru berusia enam bulan, sementara istriku mengunci pintu dan jendela. Kemudian kami buru-buru keluar dari komplek rusun, bergabung bersama tetangga-tetangga yang lain, berjalan menjauhi sungai. Di belakang kami, terdengar suara air lumpur yang menggelegar. Akhirnya kami menjadi pengungsi juga. Padahal sebulan kemarin aku dan istriku menjadi relawan di tempat pengungsian, ikut memasak dan membagi-bagikan logistik bantuan. Hanya orang-orang yang tidak "ngantor" seperti kami yang punya keleluasaan untuk membantu para korban bencana. Aku memandangi wajah istri dan anakku yang telah terlelap. Semoga mereka bermimpi indah. Aku belum bisa tidur, entah kenapa. Segelas kopi yang dibagikan tadi menemani lamunanku malam ini. Beberapa orang yang lewat mengabarkan perkembangan terkini. Kabarnya sang Sultan hendak ke sini, entahlah. Yang jelas semasa aku menjadi relawan, tak jarang kulihat beliau menemani para korban Merapi yang mengungsi. Ah, semoga kami tak harus berlama-lama di sini. Semoga besok, keadaan sudah normal kembali. Saudaraku, doakan kami! [caption id="attachment_77752" align="alignleft" width="250" caption="Banjir Kali Code / http://suaramerdeka.com/foto_aktual/7a93198a3211afc151090f6ffa6f6033.jpg"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun