Akhirnya, setelah beberapa hari ini disibukkan dengan pekerjaan, saya bisa benar-benar "membaca." Meski malam sudah agak larut dan hari hampir berganti, saya masih ingin menyempatkan diri untuk membaca koran "wajib," yakni Kompas.
Mengingat salah satu kerabat saya adalah termasuk pengungsi bencana Merapi, maka mata saya segera menangkap berita-berita tentang Merapi, terutama keadaan para pengungsi. Salah satu berita menarik perhatian saya, yaitu berita Kompas hari ini (08/11) di halaman 22 berjudul "Pendataan Logistik di Maguwoharjo Semrawut."
Dalam berita itu disebutkan bahwa untuk mendapatkan bantuan logistik, pengungsi harus mengisi blangko tentang apa saja yang dibutuhkan, sementara keterangan mengenai di mana mendapatkan blangko tersebut dan bagaimana mengisinya tidak tersampaikan secara jelas. Belum lagi jika pengungsi yang bersangkutan adalah orang-orang tua yang buta huruf. "Sungguh sangat merepotkan," demikian keluh seorang pengungsi.
Blangko. Ya, hanya karena katebelece seperti blangko, seorang pengungsi tak dapat memperoleh apa yang ia butuhkan, sementara bantuan terus berdatangan. Rupanya selembar kertas lebih berharga daripada seorang manusia. Rupanya pengaruh birokrasi terbawa juga sampai dalam penanganan korban bencana. Sungguh malang nasib saudara-saudara kita yang di pengungsian, dan sungguh malang pula para donatur yang terhambat pahalanya (baca: bantuan) hanya karena satu kata: blangko.
Di satu sisi saya bisa memaklumi bahwa para petugas penyalur bantuan logistik bertanggung jawab atas bantuan yang ia salurkan, sehingga perlu memiliki data yang lengkap. Namun, di sisi yang lain, saya pikir mereka seharusnya memiliki sikap yang bijak dalam menangani korban bencana. Tidak bisakah, misalnya, mereka membantu pengungsi dalam mengisi blangko tersebut? Bukankah mereka harus mengusahakan sedapat mungkin agar para pengungsi yang sudah repot itu tidak tambah direpotkan (oleh birokrasi)?
Berbeda dengan para birokrat itu, Sang Guru lebih mementingkan manusia daripada tetek bengek aturan yang sebenarnya dibuat untuk kepentingan manusia, namun ironisnya, justru menghambat kebebasan mereka sendiri. "Hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia yang dibuat untuk hari Sabat," demikian kataNya ketika para oposan mencelaNya karena menyembuhkan orang pada hari Sabat (hari khusus ibadah dalam agama Yahudi).
Para petugas penyalur bantuan atau koordinatornya harus memahami bahwa segala jenis kertas blangko laporan itu dibuat untuk memudahkan penyaluran bantuan, dan bukan sebaliknya. Jika saja mereka sudah memahami maksud dan tujuan blangko, maka mungkin kejadian penyaluran bantuan logistik takkan terhambat seperti itu. Birokrasi pada dasarnya dibuat untuk memudahkan, sehingga jika suatu kali terbukti menyulitkan dalam keadaan-keadaan darurat seperti pada penanganan korban bencana, tentunya sah-sah saja jika dilanggar.
Jika kebijakan birokratif ini terus dipelihara dalam penanganan korban bencana, maka para donatur akan lebih memilih untuk menyalurkan sendiri bantuan mereka pada korban bencana, atau skenario terburuknya, menahan donasi mereka! Oleh karenanya, diperlukan perubahan sikap dari para petugas penyalur bantuan dan atasan mereka. Sekarang, mereka seharusnya lebih menghargai manusia daripada data/blangko. Ke depan, seharusnya mereka lebih "manusiawi", bukannya sekedar "blangkowi!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H