Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Mi Instan dan Korban Bencana Alam

11 Oktober 2010   12:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:31 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Pagi ini, seluruh jagad dunia maya di Indonesia dikejutkan dengan berita ditariknya semua produk mi instan buatan Indonesia yang dijual di Taiwan. Konon, petugas pengawas makanan di sana menemukan bahwa sampel mi instan buatan pabrik tertentu di Indonesia mengandung zat-zat kimia yang dilarang karena membahayakan kesehatan konsumen. Tak lama kemudian, muncul klarifikasi yang rancu dari perwakilan perusahaan produsen mi instan tersebut, yang menyatakan bahwa produk yang disita merupakan produk yang tidak untuk diperjualbelikan di Taiwan. Pernyataan ini jelas menambah rasa khawatir konsumen di Indonesia, karena jika diambil kesimpulan sederhana, berarti perusahaan tersebut memproduksi pula makanan yang tidak memenuhi standar, namun tidak diekspor (ke Taiwan). Jika produk non-standar tersebut tidak diekspor (ke Taiwan), maka penalaran umum yang muncul adalah: produk itu dijual di dalam pasar dalam negeri. Alamak! Sebenarnya, isu "racun" dalam mi instan sudah bergulir sejak lama. Beberapa teman menyarankan agar membuang air hasil rebusan pertama sebelum mengkonsumsi mi instan, dengan tujuan membuang zat-zat beracun yang mungkin ada di dalamnya. Namun, seorang narasumber dari produsen mi instan justru menyatakan bahwa air rebusan pertama itulah yang mengandung banyak gizi, jadi jangan percaya dengan isu tersebut. Siapa yang benar, kita semua tidak tahu secara pasti, namun yang jelas, produk tersebut disita di Taiwan dengan alasan membahayakan kesehatan. Mungkin standar nilai gizi dan bahan-bahan yang diperbolehkan di tiap negara berbeda, itulah sebabnya penulis mendapati produk-produk impor biasanya bertuliskan "hanya untuk dijual di Indonesia." Yang menjadi pertanyaan di benak sebagian besar masyarakat kita saat ini barangkali adalah, "Seberapa tinggikah standar Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap konten dari mi instan yang beredar di Indonesia?" Penulis bukanlah penggila mi instan, namun demi alasan efisiensi dan ekonomi, mi instan pun menjadi pilihan untuk dikonsumsi, meski tidak tiap hari. Kebetulan beberapa hari sebelum kasus ini muncul, penulis sendiri pernah memikirkan tentang dampak konsumsi mi instan yang teratur terhadap kesehatan jangka panjang. Angan penulis melayang ke berbagai belahan nusantara yang sedang terkena bencana, yang biasanya mendapat sumbangan makanan dan salah satunya adalah produk mi instan. Mereka, para korban bencana alam itu, mau tidak mau harus mengkonsumsi mi instan karena itulah pilihan realistis (mungkin) satu-satunya yang ada di hadapan mereka. Dalam kondisi darurat di lingkungan yang serba porak-poranda, tentu untuk menyiapkan makanan yang dimasak dengan bumbu dapur akan dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karenanya, produk makanan instan (salah satunya mi) menjadi alternatif utama. Semoga apa yang terjadi di Taiwan hanyalah sebuah "trik bisnis" untuk menjatuhkan produk mi instan yang disita tersebut, sebagaimana pendapat beberapa orang. BPOM selaku lembaga yang dipercaya untuk masalah pengawasan obat dan makanan sebaiknya segera memberikan pemaparan publik mengenai hal ini, sehingga masyarakat mendapat kejelasan informasi. Jangan sampai para dermawan urung menyumbang Wasior, misalnya, karena takut sumbangannya dibelikan "racun" berupa mi instan, kemudian dibagikan kepada para penduduk yang sedang menderita di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun